TAIGANJA

Beberapa jenis Taiganja

BENDA PURBAKALA

Beberapa Benda Purbakala yang ada di wilayah Sulawesi Tengah.

SITUS MEGALIT

Beberapa Situs Megalit di Wilayah Napu.

SULTENG Daerah 1000 Megalit

Sulawesi Tengah dicanankan sebagai Daerah Seribu Megalit ...

PETA TUA

Peta Tua Wilayah Indonesia.

Selasa, 24 Desember 2024

Sejarah Desa JONO

 

Desa Jono merupakan desa yang tertua diwilayah Kecamatan Dolo Selatan. Desa Jono sudah ada pada tahun 1915 yang dikenal dengan  nama kampong Jono Sambo yang kepala tina bernama Lante Ngudu dan kepala jaga bernama Rata maku. Dalam Bahasa kaili inde, jono berarti alang-alang. Selama kepemimpinan beliau keadaan masyarakat pada waktu itu masih menyebar dilereng-lereng gunung (hidup berpindah – pindah). Setelah masa kepemimpinan Lanta Ngudu (kepalatina) dan Rata Maku (kepalajaga) berakhir, kemudian kepemimpinan berikutnya dipimpin oleh Yolungata selaku kepala kampong dan Nisagade selaku jurutulis yang baru (1944-1967 ). Dimasa kepemimpinan beliau berusaha menyatukan masyarakat yang berpindah-pindah agar menetap disatu tempat yang disebut Boya/Ngata dan semenjak itu persatuan dan kesatuan sangat erat terjalin antara kepala kampong dan masyarakat, sehingga masyarakat hidup tentram dan damai. Setelah yolungata (kepala Kampung) Wafat kepemimpinan dilanjutkan oleh Musaua Tipadea selaku  kepala kampong dan Nisagade selaku jurutulis (1969-1973).Dan pada tahun 1974-kepemimpinan sementara dipimpin oleh juru tulis yang bernama Nisagade menunggu dipilihnya kembali kepala kampung.

Dengan berjalanya waktu dan berkembangnya zaman kepala kampong berubah nama menjadi Kepala Desa dan kepala jaga berubah nama menjadi Sekretaris Desa. Pada tahun 1979-1984 Toy Tora selaku Kepala Desa dan Nisagade selaku Sekretaris Desa yang baru. Periode berikutnya kembali terpilih kepala desa yang melanjutkan roda pemerintahanya itu Sadrak Sandara selaku Kepala Desa dan Marthen Luther-Surino selaku Sekretaris Desa (1985 -1995). Pada masa berikutnya roda kepemerintahan dipimpin oleh Belsion Karel selaku Kepala Desa dan Sudianto Yolungata selaku Sekretaris Desa (1996-2015). Setelah berakhirnya jabatan kepala desa pada tahun 2015 maka ditetapkanlah sekretaris Desa sebagai penjabat Kepala Desa Sudianto Yolungata untuk menjadi pelaksana tugas Kepala Desa selama 1 (Satu) Tahun. Pada Pertengahan tahun 2016 roda kepemerintahan Desa dipimpin kembali oleh Hezfrianto selaku Kepala Desa sampai sekarang ini.


Berikut merupakan nama dan masa periode pemerintahan Desa Jono sejak tahun 1915-2018, yang resmi tercatat di sejarah pemerintahan desa:

Nama Kepala Desa

 Lante Ngudu        Tahun 1915-1943

Yolungata              Tahun 1944-1967

Musaua Tipadea   Tahun 1968-1973

Nisagade                Tahun 1974-1978

Toy Tora                 Tahun 1979-1984

Sadrak Sandara    Tahun 1985-1995

Belsion Karel        Tahun 1996-2015

Sudianto             Tahun 2015-2016

Hezfrianto        Tahun 2016-Sekarang 



Sumber : Data Tahun 2018


Rabu, 24 Juli 2024

Sejarah KECAMATAN SIGI BIROMARU

 

Sejarah Singkat Kecamatan Sigi Biromaru

 

Kecamatan Sigi Biromaru merupakan salah satu wilayah Kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Sigi dengan membawahi 17 desa dan 1 UPT Trasn. Berdasarkan catatan Sejarah Sulawesi Tengah, bahwa sebelumnya Sigi merupakan salah satu daerah kerajaan yang dikenal dengan nama  Kerajaan Sigi" yang pusat pemerintahannya berkedudukan di Bora, oleh sebab itu penggunaan kata Sigi dan kata Biromaru dalam sejarah pemerintahan di wilayah ini tidak dapat dipisahkan walaupun antara Sigi dan Biromaru masing-masing juga memiliki riwayat atau sejarahnya sendiri-sendiri. "Sigi" berasal dari kata "Masigi", karena konon riwayatnya dimana pada zaman dahulu di wilayah sebelah timur Desa Bora yang menjadi pusat pemukiman penduduk waktu itu, tepatnya di daerah yang sekarang disebut Desa Sigimpu tiba-tiba ditemukan sebuah masjid dengan lima orang pegawai syarahnya yang dilengkapi dengan sebuah beduk dan sebuah khotbah yang ditulis di kulit kayu yang oleh masyarakat Sigi disebut Ivo. Dari kejadian itu, maka orang-orang yang melihat masjid itu dari dekat menyebut "Masigimpu" sedangkan mereka yang melihat dari kejauhan di atas bukit menyebutnya "Masigira", maka mulai saat itulah wilayah yang belum bernama ini oleh masyarakat lazim disebut wilayah "Sigimpu" dengan masyarakatnya dijuluki sebagai "Tosigimpu", sedangkan wilayah yang jauh dari tempat    masjid    itu    oleh    masyarakat    disebut    wilayah    "Sigira"    dengan masyarakatnya disebut "Tosigira". Demikian julukan nama untuk wilayah ini, hingga sampai terbentuknya “Kerajaan Sigi” yang menguasai dua wilayah tersebut.

 

 

 

 

Sedangkan Biromaru menurut sejarahnya berasal dari kata "Biro" yaitu alang-alang yang sejenis tebu, dan kata "Maru" yang artinya tua atau lapuk. Karena konon sebelum wilayah ini dihuni oleh manusia, wilayah ini masih merupakan suatu hamparan tanah yang luas ditumbuhi tanaman-tanaman "Biro" yakni tanaman alang-alang yang sejenis tebu. Sehingga ketika datang sekelompok orang-orang yang berasal dari daerah pegunungan Lando sekarang disebut Raranggonau untuk berburu"Moasu" babi di wilayah ini, karena melihat kondisi alamnya yang dianggap oleh mereka cukup baik untuk daerah pemukiman dan untuk bercocok tanam, maka sekelompok orang-orang yang datang "Moasu" itu akhirnya bertekad untuk tidak mau lagi kembali ke daerah asalnya di wilayah pegunungan, tetapi bertekad untuk membuka wilayah ini sebagai wilayah pemukiman bagi seluruh keluarga mereka. Dengan tekad tersebut, maka mulai saat itu wilayah ini menjadi suatu wilayah pemukiman yang baru dan belum bernama. Namun setelah sekian lama mereka menghuni wilayah ini, maka pada suatu ketika dimana saat mereka yang menjadi penghuni wilayah ini sedang bekerja untuk memaras alang-alang yang berupa tebu itu untuk dijadikan persawahan, tiba-tiba salah seorang dari merekayang bekerja itu menemukan seekor belut dipucuk daun alang-alang seperti tebu itu atau dalam bahasa kaili disebut "Biro" yang sudah tua atau lapuk yang juga disebut dalam bahasa kaili "Namaru". Dengan kejadian itu maka mulai saat itu orang-orang yang tinggal diwilayah ini mulai menyebut daerah pemukiman mereka dengan nama "Biro-maru" sedangkan belut yang didapat di daun "Biro- Namaru" tadi dianggap sebagai mustika kampung dalam bahasa kaili disebut "Tinuvu-Nungata", dan belut yang dianggap sebagai "Tinuvu-Nungata" ini hingga sekarang masih tetap disimpan oleh keturunan orang yang menemukan pada waktu itu. Setelah wilayah ini mulai bernama "Biro-maru" maka mulai saat itu pula wilayah ini dikenal sebagai suatu wilayah kerajaan lokal dengan membentuk sistim kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang Madika dan dibantu oleh seorang Baligau, seorang Pabicara dan seorang Tadulako. Hubungan kerajaan lokal Biromaru dengan kerajaan besar Sigi saat itu belum terjalin, namun setelah adanya perkawinan para anggota keluarga Raja-raja, barulah antara kedua daerah ini memiliki hubungan persaudaraan yang sangat kuat dan bahkan mengikat persaudaraan dengan satu semboyan "Ane Tori Sigi Masusa, Tori Biromaru Mageroka Rara" artinya "Jika orang-orang Sigi sedang mengalami kesusahan, maka orang-orang Biromarulah yang akan merasakan kesusahan itu" demikian semboyan itu berlaku secara timbal balik antara Sigi dan Biromaru. Kemudian setelah diproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia maka terjadilah perubahan-perubahan secara fundamental dalam mencapai tujuan negara sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan selanjutnya dinyatakan didalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 18: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Berdasarkan hal tersebut maka pada tanggal 21 Nopember 1964 ditetapkanlah wilayah Distrik Sigi Biromaru menjadi wilayah Kecamatan Sigi Biromaru dengan susunan 41 desa. Pada tahun 1997 Kecamatan Sigi Biromaru dimekarkan menjadi 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Sigi Biromaru dan Kecamatan Palolo, kemudian dimekarkan lagi menjadi    3 kecamatan yaitu Kecamatan Gumbasa dan Kecamatan Tanambulava.

 

B. Letak, Luas dan Batas Wilayah

Kecamatan Sigi Biromaru merupakan salah satu kecamatan yang ada

di wilayah Kabupaten Sigi, serta terbagi atas 17 Desa dan 1 UPT Lembah Palu

berbatasan dengan :

    Sebelah Utara    : Kecamatan Palu Selatan

    Sebelah Selatan    : Kecamatan Tanambulava

    Sebelah Timur    : Kecamatan Palolo

    Sebelah Barat    : Kecamatan Dolo

Sejarah Singkat Masyarakat adat Vaenumpu

 Sejarah Singkat Masyarakat adat  Vaenumpu

Vaenumpu adalah salah satu Sub komunitas masyarakat adat yang ada di wilayah ke adatan besar Kamalisi Sulawesi Tengah yang kini pada umumnya bermukim diwilayahlereng dan pegunungan Kamalisi. Vaenumpu merupakan salah satu Komunitas ngata (sebelum colonial atau sesudah merdeka) yang berada di kawasan wilayah adat kamalisi. Vae yang berate acara syukuran pasca panen, sedangkan numpu adalah nama orang tua yang pertama kali mendiami wilayah adat salah satu katavusu pelongo hingga sampai di ngata vaenumpu.

Namun sekarang namanya vaenumpu itu sendiri menjadi uwenumpu yang dikenal masyarakat umumnya, namun perubahan ini tidak menjadi kontroversi dari pihak manapunkarena uwenumpu yang artinya sumber mata air yang mengalir kesuatu tempat dari satu tempat ketempat yang lainnya menjadi sumber kehidupan di komunitas Avaenumpu itu sendiri, system pemerintahan yang di anut masyarakat adat vaenump mempercayai system kepemimpinan tertinggi di ngata tidak menggunakan Madika atau raja akan tetapi Ntina.

pengalaman infestigasi lapangan dan pengakuan orang-orang da’a di vaenumpu mereka adalah etnis tersendiri yang mereka sebut To Ulujadi atau Ulunggatoka Pinandu-ongunja poamaya. Dengan penama’an ini orang da’a mempercayai bahwa dari puncak gunung inilah awalnya dari kehidupan manusia, biasa sebutan lainnya di kenal dengan Ulunggatoka Pinandu – Pinandu : Tananilemo Nggari Tanah Pinandu – di ciptakan dari tanah, adalah tanah di jadikan manusia dan menurut orang da’a pinandu itu pulahlah nama orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian barulah dari tulang rusuk pinandu di ciptakan perempuan yang disebut “usukei”- usukei adalah perempuan pertama yang diciptakan dari tulang rusuk pinandu.

Dalam perkembangan manusia ini, orang da’a memprcayai belum ada adat atau aturan yang mengatur adat dalam kehidupan manusia nanti setelah diciptakannya orang yang mereka sebut sebagai “Tomanurung – Tobarakah “ dari sinilah barulah mereka mengenal system adat, yang kini tetap di jaga.

Petobo, dari daerah perang menjadi hunian

 

PALU — Lumpur setinggi tiga meter di Petobo telah lama mengering, memendam banyak rumah dan jazad manusia. Serpihan-serpihan puing menyatu dalam debu yang beterbangan di tengah terik yang memanggang.

Di atas tanah bekas bencana likuefaksi itu, kini hanya menyisakan cerita-cerita kesedihan yang tak berkesudahan.

Nama Petobo menjadi fenomenal setelah dilumat likuefaksi 28 September 2018 silam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat, gempa 7,4 SR memicu likuefaksi di tanah seluas 180 hektare dari 1.040 hektare total luas Kelurahan Petobo.

Riwayat Petobo ada dalam cerita rakyat orang Kaili. Tokoh adat Desa Pombewe, Atman Givu Lando, mengatakan, Petobo berasal dari kata “tobo” yang berarti menusuk. Nama itu sesuai kisah Taboge Bulava yang hendak dinikahi oleh seorang pria suku Kaili Tara dengan mahar membuat saluran dari Sungai Kawatuna.

Tetapi saat prosesi Petambuli, sang mempelai pria meninggal. Taboge Bulava kemudian dilamar kembali oleh pria dari Panggevei, tetapi mendapat penolakan dari keluarganya.

“Peristiwa ini berujung dengan penusukan yang melukai Taboge Bulava,” kata Atman.

Sebelum bernama Petobo, kawasan tersebut bernama Jajaki yang artinya tempat polibu atau musyawarah, sebelum terjadinya Perang (Kagegere) Lando–Sidima.

Wilayah Jajaki terdiri dari beberapa bagian, yaitu Boya atau Ranjole Kinta, Varo, Nambo, Ranjobori, Pantaledoke, Popempenono, dan Kaluku Lei.

Nambo sebelum likuefaksi, terletak di sekitar Jl. Mamara, Kelurahan Petobo. Nambo diambil dari nama Raja Loru, Nambo Lemba.

Kisah Nambo Lemba berakhir hilang (na’Lanya) di Sungai Ngia, yang dulunya mengalir dari Kapopo lalu bertemu dengan sungai Kawatuna ke arah Levonu (daerah sekitar Dunia Baru dan Mall Tatura).

Keterangan soal Sungai Ngia itu tertera dalam Peta tahun 1897 buatan ahi etnografi Belanda, Albertus Christian Kruyt, yang diterbitkan Diens Kartograi Batavia pada 1941. Dalam peta itu menggambarkan bahwa ada Sungai Ngia (Kapopo) yang mengalir di Petobo.

Hal ini juga dikatakan Arkeolog Museum Sulawesi tengah, Muh. Iksam. “itu adalah bekas aliran sungai purba, yang mengalir dari daerah Kapopo (Ngata baru) dan bersatu dengan sungai palu di Tatura,” kata Iksam, beberapa waktu lalu.

Atman menceritakan, dulunya, Petobo hanya dipakai sebagai tempat berperang. Itu yang memunculkan nama Pantale doke alias tempat menaruh tombak serta Ranjobori sebagai wilayah khusus untuk peperangan.

Dalam beberapa tahun berikutnya, Petobo kemudian khusus diminta menjadi tempat tinggal. Akan tetapi, dulunya, penduduk Petobo tidak boleh lebih dari 60 orang.

“Jika lebih, warga meyakini akan datang bencana dan penyakit sehingga jumlahnya kembali menjadi 60 orang,” kata Atman.

Agar tak jadi malapetaka, penduduk Petobo melangsungkan upacara adat dengan menyusun sejumlah tombak dan guma (pedang) untuk dijadikan Kinta atau kampung kecil sebagai hunian.

“Sejak saat itu penduduk di Kinta dapat bertambah”, ujar Atman.

Dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Palu 1995, tertulis, bahwa dalam periode itu penggunaan lahan untuk pemukiman dan pembangunan fasilitas umum di Kelurahan Petobo, hanya seluas 40,306 hektare.

Sedangkan sisanya masih berupa semak, sawah, kebun kelapa dan jaringan irigasi.

Namun, berikutnya, Petobo makin padat dengan hunian. Kompleks-kompleks parumahan banyak dibangun di atas bekas Sungai Ngia.

Di bekas sungai itulah, lumpur likuefaksi 28 September melumat ratusan rumah dan bangunan lain setelah gempa mengguncang. Tepat di batas timur, ada sekitar 15 rumah di Kinta, bekas kampung pertama di Petobo yang selamat dari kepungan likuefaksi.[]

 

Penulis: Mohamad Herianto

Editor: Ika Ningtyas

Sejarah dan Dampak Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Kulawi

 

Sejarah dan dampak pelanggaran HAM berat di masa lalu menjadi topik yang didiskusikan bersama Lembaga Adat Kulawi. Secara khusus, pelanggaran HAM berat yang dibincangkan adalah Peristiwa 1965/1966 yang terjadi di Kulawi. Peristiwa 1965/1966 atau Tragedi 1965/1966 adalah peristiwa pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini terjadi setelah kegagalan usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S) yang menewaskan enam Jenderal dan satu Perwira TNI Angkatan Darat. Tragedi 1965/1966 dianggap sebagai salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia dan merupakan pelanggaran HAM berat.

 

Dalam peristiwa tersebut, terjadi tindakan kekerasan dan pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI. Para korban ditangkap sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa dan wajib lapor yang mengakibatkan trauma mendalam dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan keluarga korban.

 

Presiden Joko Widodo telah berupaya memulihkan hak-hak para korban dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat pada masa lalu (Tim PPHAM). Di Sulawesi Tengah, H. Rusdy Mastura sebagai Walikota Palu menyampaikan permintaan maaf kepada korban kasus peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Penyampaian maaf itu diungkapkan di hadapan ratusan keluarga korban dalam acara seminar hasil penelitian dan ferivikasi korban Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu pada Selasa (19/5) tahun 2013 di ruang Auditorium kantor Wali Kota Palu. Walikota Palu H. Rusdy Mastura bertekad mengubah paradigma masyarakat, terutama di Kota Palu agar sadar HAM. Beliau memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi korban dan memberikan beasiswa atau pendidikan gratis kepada anak-cucu korban.

 

Metode alur waktu untuk menggali dampak dans ejarah pelanggaran ham berat di kulawi

Penggunaan metode Alur Waktu untuk menggali Peristiwa 1965/1966 di Kulawi bersama Lembaga Adat. Metode Alur Waktu dipilih untuk lebih mempermudah para peserta untuk kembali mengingat Peristiwa 1965/1966.

 



Hasil Diskusi

Di Kulawi, terdapat beberapa korban Peristiwa 1965/1966 yang tersebar dibeberapa daerah. Salah satu korban yang berhasil diwawancarai oleh pengurus Rumah Belajar adalah keluarga korban Taha Tandausu yang dulunya merupakan seorang guru di Kulawi. Menurut informasi yang didapatkan, Taha Tandausu di tangkap pada saat perjalanan menuju sekolah tempatnya mengajar. Taha Tandausu kemudian dibawa ke Kota Palu dan dipenjarakan selama 6 tahun dan melakukan kerja paksa, setelah keluar dari penjara Taha Tandausu di pecat dari pekerjaannya. Taha Tandausu ditangkap karena dianggap sebagai simpatisan PKI, terkait dengan profesinya yang menjadikan Taha Tandausu seorang yang kritik.

 

Pada kegiatan ini, pengurus Rumah Belajar Kulawi melakukan sharing session. Sharing session ini terutama dilakukan bessama warga dan lembaga adat Kulawi yang dianggap mengetahui informasi mengenai peristiwa 65/66 di Kulawi. Metode yang digunakannya adalah alur waktu. Dalam metode tersebut pengurus mewawancarai warga mengenai apa saja yang terjadi di Kulawi dalam rentan waktu tahun 1960 sampai tahun 2000.***



Sumber : DISINI

Adat Vunja, Kearifan Lokal Masyarakat Dusun Sisere

 

Sisere dikenal dengan daerah yang memiliki banyak adat istiadat, salah satunya adalah Adat Vunja.

 

Bagi suku Kaili, Adat Vunja dilakukan ketika hasil panen melimpah dan mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Vunja dalam bahasa Kaili berarti adat tanah. Kata itu juga di artikan sebagai tradisi gotong royong dalam masyarakat Kaili yang berfungsi sebagai bentuk saling bantu-membantu dalam berbagai kegiatan atau pekerjaan besar. Ritual `mo vunja` ini ditandai penyembelihan ayam di sungai serta seserahan berisi sejumlah jenis hasil bumi seperti durian dan buah-buahan lainnya. Ratusan warga yang mengikuti acara itu tampak gembira karena hampir semuah pohon durian berbuah.

 

Adat Vunja yang dilakukan di Dusun Sisere



Prosesi Adat Vunja di Dusun Sisere. Adat Vunja adalah sebuah ritual yang dilakukan setahun sekali oleh masyarakat Dusun Sisere sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.

 

Kepala Dusun Sisere, mengatakan bahwa adat vunja yang ditandai dengan ritual penyembelihan ayam dan diakhiri dengan makan bersama ini dimaksudkan untuk melestarikan adat budaya yang hidup di masyarakat Kaili sebagai ucapan syukur kepada Allah SWT atas berlimpahnya hasil panen buah durian dan buah lainnya di masyarakat Dusun Sisere. Makanan yang disajikan ada dua versi, yakni ada makanan yang khusus digunakan pada saat adat vunja, ada juga makanan secara seperti hasil panen durian.

 

Pesta atau ritual ini dilakukan oleh para pemangku adat, yang disebut orang tua adat atau Totua nu Ada. Sebelum dimulainya prosesi, Totua Nu Ada (orang tua adat) ini menyiapkan kayu dan pohon serta beberapa hasil panen, seperti buah durian yang dijadikan sebagai syarat untuk prosesi ini. Semuanya kemudian ditancapkan ke tanah, layaknya pohon yang hidup yang dihiasi dengan daun kelapa.

 

Setelah menyiapkan segala keperluan adat, para pemangku adat terlebih dahulu menggelar makan bersama tokoh masyarakat dan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk membangun komunikasi, sebelum melakukan ritual.

 

Usai itu, barulah melaksanakan prosesi puncak. Secara umum, kemudian pemangku adat melakukan ritual ini dengan cara meneriakkan pujian-pujian atau ucap syukur, dengan merangkul satu sama lain, sembari memutari pohon dan persembahan. Dengan adanya Adat Vunja ini sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia, karena manusia lahir dengan budaya, hidup dengan budaya dan matipun dengan budaya. Sehingga, adat Istiadat tidak bisa terlupakan.***




Sumber : DISINI

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah

 

Kabupaten Sigi adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia. Ibukotanya adalah Bora yang berada di Kecamatan Sigi Biromaru.


Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala. Kabupaten Sigi memiliki luas wilayah sekitar 5.196 km2 dengan jumlah Penduduk mencapai 247.057 jiwa 2017.

 

SEJARAH SINGKAT KABUPATEN SIGI

 

Sebelum ditaklukan oleh pemerintah Belanda pada Tahun 1904 wilayah Kabupaten Sigi merupakan salah satu wilayah pemerintahan raja-raja yang berdirisendiri-sendiri  d iProvins iSulawesi Tengah,  yaitu Kerajaan Sigi Dolo  yang  pusat pemerintahannya berkedudukan di Bora.

 

Pemerintah Hindia Belanda menduduki kerajaan ini setelah mengalami perang Sigi Dolo.Perang diakhiri dengan penanda tanganan perjanjian yang dikenal dengan langeverkliring  yang kemudian disusul konterverkliring  yang intinya pengakuan terhadap kedaulatan pemerintahan Belanda atas wilayah-wilayah kerajaan tersebut.

 

 

Setelah ditaklukan pada tahun 1904 dijadikan wilayah administratif dengan nama distrik, selain dari distrik yang dinamakan onder distrik.  Gabungan dari beberapa distrik disebut swapraja atau disebut landscap (Zelfsbestewer ondeland schappen).

 

Untuk mengatur pemerintahan dalam wilayah swapraja ini sebagai pelaksanaan korteverklering, pemerintah Belanda menetapkan  peraturan tentang daerah-daerah yang pemerintahan sendiri berlaku sejak tahun 1927 dan diubah pada tahun 1938 dengan nama zelfbestusregelen.

 

Dalam perkembangan selanjutnya wilayah Sulawesi Tengah dijadikan beberapa Afdeling,  dimana Kerajaan Sigi Dolo masuk ke Onder afdeling Palu.  Pada akhir tahun 1948 Sulawesi Tengah menjadi satu daerah otonom dengan Ibu Kota Poso.Oleh pemerintah dibentuk dua badanya itu dewan raja-raja yang diketuai oleh Bestari Laborahima anggotanya sebagian besar ditunjuk oleh pemerintah selaku penasihat.


Dengan terbentuknya Sulawesi Tengah maka lembaga-lembaga pemerintah seperti residen, asistenresiden, gezag, hebar/kontreleur dihapuskan dan dirubah menjadi kepala pemerintahan negeri, sedang Landschap menjadi Swapraja.

 

BerdasarkanKeputusanGubernur Sulawesi Tengah Tanggal 23 OktoberTahun 1951 (diubahkembalitanggal 30 April 1952) daerah Sulawesi Tengah kembalimenjadiduawilayahadministratif.Sehubungandenganpembagianinimaka DPRD Sulawesi Tengah padaTangal 16 November 1951 menyatukandiri bersama dewan pemerintah daerah dan menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada Gubernur Sulawesi Tengah dengan surat tanggal 4 Maret 1952 No. 183, pembubaran daerah Sulawesi Tengah dan daerahnya menjadi daerah Swatantara.

 

 

 

Berdasarkan peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1952 terhitung mulaiTanggal 12 Agustus 1952 daerah Sulawesi Tengah dibagi menjadi dua  kabupaten yaitu :

 

- Kabupaten Donggala yang wilayahnya meliputi bekas Onder afdelingPalu, Donggala, Parigi dan Toli-toli;

- Kabupaten Poso yang wilayahnya meliputi bekas Onder afdeling Poso, Bungku/Mori dan Luwuk.

 

 

 

Selanjutnya berdasarkan undang-undang Nomor 29 Tahun 1953 tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala dibagi menjadi dua kabupaten

 

Daerah tingkat II yaitu:

 

1. Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala meliputi Onder Afdeling Palu, Donggala dan Parigi;

2. Kabupaten Daerah Tingkat II Toli-toli meliputi OnderAfdeling Toli-toli dan Buol.

 

Kemudian diterbitkan dan disyahkanUndang-Undang  No 27 Tahun 2008 mengenai pembentukan Kabupaten Sigi pada tanggal 21 Juli 2008. Sebelumnya Kabupaten Donggala telah mengalami pemekaran menjadi Kota Palu dan Kabupaten Parigi Moutong.

 

Dari 30 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Donggala sebanyak 15 kecamatan masuk ke Kabupaten Sigi yaitu Kecamatan Pipikoro, Kecamatan Kulawi Selatan, Kecamatan Kulawi, Kecamatan Lindu, Kecamatan Gumbasa, Kecamatan Nokilalaki, Kecamatan Palolo, Kecamatan Sigi Biromaru, KecamatanTanambulava, KecamatanDolo, Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Dolo Barat, Kecamatan Marawola, Kecamatan Kinovaro dan Kecamatan Marawola Barat.   Adapun pejabat Bupati yang pertama ditunjuk adalah Drs. Hidayat.

 

 

 

Sumber : https://sanggentala.wordpress.com/tentang-sigi

Sejarah Desa BALUMPEWA

 

Sejarah Desa BALUMPEWA

Tertulis/terdengar suatu cerita dari satu wilayah hunian komunitas masyarakat Yang amat subur di atas tanah pegunungan sebelah barat, wilayah yang ditumbuhi Pepohonan dan rerumputan yang hijau,  orang-orang sekitarnya menyubut wilayah ini“ BOLONTOKUE “. 

Selain memiliki tanah sangat subur untuk bercocok tanam juga sangat baik digunakan untuk wilaya pemukiman, sehingga dalam kurun waktu tertentu sekelompok komunitas etnik Kaili dengan sub-etnik Inde (Topo Inde) yang menghuni wilaya Vayolipe mencoba melakukan perpindahan ke wilaya Bolontokue. Meskipun hidup dengan kesederhanan ditengah keterbatasan dan pola kearifan tradisional yang memiliki, membuat kehidupan mereka amatlah bersahaja pada kondisi yang ada. Pola kehidupan yang masih sangat tradisional ini dilakukan oleh masyarakatnya melalui kehidupan sehari-hari baik dalam hal bekerja dikebun/bertani. 

Bertahun-tahun sudah lamanya masyarakat Bolontokue bekerja keras ditengah ketenangan dan kesederhanaan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya melalui pola interaksi yang dilakukan baik interaksi sesama masyarakat maupuninteraksi dengan alam disekitarnya membuat lahirnya satu kebiasaan yang menjadi nilai-nilai dan norma kehidupan. Melihat kebutuhan sehari-hari baik dalam hal pekerjaan khususnya pertanian dan berburu masih menggunakan alat yang sangat terbatas maka seorang orang tua yang bernama “PEVA” berinisiatif menanam serumpun Bambu yang dalam bahasa lakolnya disebut “BALO”.

Balo (bambu) tersebut tumbuh dan berkembang dan akhirnya bambu tersebut sangat banyak membatu masyarakat Bolontokue melakukan pekerjaan terutama dikebun dan berburu. Karna dengan banyaknya fungsi/kegunaan bambu yang ditanam oleh PEVA, maka oleh masyarakat Bolontokue sesekali menyebut wilayanya dengan sebutan “BALUMPEVA”. Kerena oleh masyarakat Bolontokue lebih akrab menyebut wilaya Bolontokue dengan nama Balumpeva maka muncul kesepakatan untuk mengganti nama Bolontokue menjadi Balumpeva. Yang sekarang menjadi Balumpeva (Balumpewa)

Etnis, Bahasa dan Religi

Mayoritas etnis di desa Balumpewa  adalah suku Kaili Inde.  Orang Kaili terdiri atas beberapa sub suku dan menggunakan dialek yang berbeda-beda, maka munculah istilah: Kaili Ledo, Kaili Rai, Kaili Ija, Kaili Unde, Kaili Ado, Kaili Edo, Kaili Tara, dan sebagainya. Dikatakan sebagai Orang Kaili karena adanya kesamaan budaya dan adat istiadat di kalangan mereka, sebagaimana dikemukakan oleh Mattulada (1985:21) bahwa: Orang Kaili mengidentifikasi diri sebagai To Kaili karena adanya persamaan dalam bahasa dan adat istiadat leluhur yang satu, dipandang menjadi sumber asal mereka, bahasa Kaili dalam arti Lingua-Franca dalam kalangan semua To-Kaili.  argumentasi dan pandangan bahwa meskipun terdiri atas beberapa sub suku, orang Kaili sebenarnya masih memiliki hubungan darah atau berasal dari satu nenek moyang yang sama, hal ini diakibatkan oleh adanya perkawinan antar sub suku Kaili itu sendiri (Natsir  dan Haliadi, 2015). 

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat untuk komunikasi khususnya antar warga, mayoritas warga menggunakan bahasa Kaili dengan dialek Inde, namun untuk komunikasi dengan pendatang serta dengan orang diluar warga Balumpewa, masyarakat menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan , untuk agama yang dianut penduduk desa Balumpewa mayoritas memeluk agama Kristen Balai Keselamatan. Secara kultural pegangan agama ini didapat dari hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan. Selain itu juga keyakinan beragama berkembnag berdasarkan turunan dari orang tua ke anaknya.

Sejarah Kepemimpinan Desa





Sejarah Singkat Masyarakat Adat SIDOLE

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat SIDOLE

Dituturkan, dahulu kala hiduplah sepasang suami istri bernama Linduala (Genangan Air Kuasa Tuhan) dan Tandilino (Jemputan Siang). Keduanya dipercaya sebagai leluhur orang-orang Sidole hari ini. Pasangan tersebut memiliki tujuh anak yaitu:

1. Remeinta (perempuan) artinya keterangan yang jelas

2. Asalemo (laki-laki) kebersamaan

3. Intarame (perempuan) artinya jelas terang

4. Mulajadi (laki-laki) pertama ada

5. Mulahu (laki-laki) artinya mulai kerja

6. Indalara (perempuan) artinya baik hati

7. Mogundu (laki-laki) harum

Dari pasangan dan keturunannya itulah berkembanglah masyarakat adat Sidole. Kata Sidole sendiri diambil dari nama pohon kayu yang ada di wilayah adat yang sering disebut dengan Toriomog.

 

Remeinta dan Intarame mendapat jodoh dari Suku Mandar dan Suku Bugis sehingga mereka mengikuti suami mereka hidup di kampung halamannya. Adapun Lasalemo, Mulajadi, dan Mulahu pergi merantau ke pantai barat, tanah bugis, dan sebagainya sehingga munculah somba ri goa (rumah dalam goa) mangkao ri bone 9 raja di bone pajung ri luwu sompa raja tana kaili.

 

Indalara dan Mangundu menetap tinggal di kampungnya dan menikah dengan nuru sakit maga dengan mengunakan adat kayori yang berasal dari keturunan indolara serta ditambah dengan keturunan saudara-saudara mereka pulang dari merantau di negeri orang sampai ke kampung halamannya.

 

Pada sekitar tahun 1695 nama sebutan toriomog diganti oleh Belanda menjadi “Torilore” yang artinya “orang bodoh.” Dituturkan sekitar tahun 1928, masyarakat adat Toriomog Sidole yang saat itu berlokasi di Nabaliang dipindahkan oleh Belanda untuk berkumpul di lokasi yang disebut Kinta Koso yang saat itu belum berpenghuni. Pada saat penjajahan Jepang, Pendidikan mulai masuk dan wilayah adat saat itu disebut sebagai “kampoeng”. Pada sekitar tahun 1975 wilayah kampung itu berubah lagi menjadi desa sehingga menjadi Desa Sidole. Seiring perkembangan zaman, wilayah Desa Sidole mekar menjadi Desa Tombi dan Desa Tanampedagi di tahun 2007. Pada tahun 2011 Desa Sidole kembali mekar menjadi Desa Sidole Brat dan Desa Aloo. Pada tahun 2013, terjadi pemekaran lagi menjadi Desa Sidole Timur dan Desa Pangku.

Kodisi wilayah masyarakt adat Komunitas Sidole saat ini, telah terjadi perselisihan antara masyarakat Desa Ampibabo dengan masyarakat Desa Sidole. Karena masyarakat Desa Ampibabo mengklaim bahwa lokasi pegunungan yang tepat berada di atas Desa Sidole adalah milik masyarakat Ampibabo yang akan dijadikan lahan perkebunan Porang. Saat ini telah dilakukan sosialisasi oleh pihak perusahaan porang. Selain itu wilayah adat Sidole tepatnya di Desa Alo,o akan dijadikan lokasi tambang emas. Saat ini telah di lakukan sosialisasi oleh perusahaan pengelola tambang dan bahkan sampai dengan tawar menawar harga lahan perkebunan. Respon masyarakat terkait dengan hal tersebut kemudian melakukan pertemuan yang juga melibatkan pemuda untuk melakukan penolakan terhadap rencana pembukaan lahan tambang di Desa Aloo.


Batas Wilayah

Batas Barat         • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Saloya Kec. Sindue, Kab. Donggala.

Batas Selatan     • Sebelah Selatan dengan Desa Tolole Kec. Ampibabo, Kab. Parigi Moutong, Tanda batasnya: Rawa (lano).

Batas Timur        • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Toga Kecamatan Ampibabo Kab. Parigi Moutong Tanda batasnya: (kasaenda, pangi) yang berbatas alam dengan lano (rawah) dan paruja (persawahan). Desa Paranggi (Pangi, Taipang Mango, Ogo Tai) yang berbatas alam dengan lano (rawa), pohon Mangga, dan Sungai.

Batas Utara         • Sebelah Utara dengan Desa Buranga Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong Tanda batasnya: Buyul Sivulu Tongo, Buyul Sijongin (Ogo Binangkal/Sungai Binangkal)


Sumber : DISINI

Vatutela: Sejarah Besar Dari Daerah Kecil (3)

 

 Vatutela: Asal-Usul Raja-Raja Di Tanah Kaili

Tidak berlebihan rasanya jika menyebut Vatutela sebagai bagian penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan di tanah Kaili, terutama Kerajaan Tawaeli. Raja-raja Tawaeli setelah Yangge Bodu[1] (Magau Punggu) memiliki alur silsilah yang berasal dari Vatutela. Silsilah ini dapat dirunut dari Datumpedagi (Langgo)[2] yang merupakan anak dari Saera Mangkau dan Woki, yang merupakan Madika Vatutela[3]. Woki adalah anak dari Sakimanuru (Siti Buruda)[4]. Kakeknya dari pihak ibu adalah Salangga, yang merupakan cicit dari Ginggimagi yang menjabat sebagai Madika Malino di Bale[5]. Neneknya dari pihak ibu adalah Kinenia (Kinema) yang merupakan cicit dari Bose Onge, yang menjabat sebagai Madika Laidjango di Bale[6].   

 

 

Datumpedagi (Langgo) memiliki dua orang istri. Daenggasia (Madika Timbala)[7], anak dari Gilibulava (Madika Labuan dan Palu) dan Daetika Daesalembah (anak ke lima dari Magau Tawaeli ke III yaitu Daesalembah)[8], merupakan istri pertama, dan Lemuinta[9], Madika Valangguni yang merupakan istri kedua. Dari Daenggasia, Datumpedagi memiliki empat orang anak yaitu Pengalembah, Linggulembah, Lasamalolo, dan Tanggarumpa (Baso Kavola)[10]. Dari Lemuinta, Datumpedagi dikaruniai lima orang anak yaitu Gadilembah, Sopolembah, Daeng Malino, Tadolembah, dan Gondalangi (Pue Sula)[11].

 

Pengalembah menjadi Madika Baiya pada masa pemerintahan Magau Yangge Bodu  (1759-1800) dengan gelar Madika Bobo[12]. Pengalembah menikah dengan Bungasangi[13] dan dikaruniai dua belas orang anak yaitu Musa Datu, Tondalabua, Todjobula, Pilalembah, Tirolembah, Tandiara, Mima, Goba Intan, Tariro, Ponamita, Karalembah, dan Goba Pewunu[14].

 

Musa Datu kemudian menikah dengan Lope Datumpedagi[15], anak keempat dari Datumpedagi (Pue Oge Nganga)[16] yang menjabat sebagai Madika Matua pada masa pemerintahan Magau Dg. Pangipi (Madika Beli) dan Magau Yangge Bodu[17]. Ia juga pernah menjabat sebagai wali raja bagi keponakannya Yangge Bodu yang baru berusia 12 tahun saat diangkat menjadi Magau[18]. Selain itu, Datumpedagi (Pue Oge Nganga) juga dikenal sebagai salah satu tokoh agama karena pernah menjadi Imam Masjid Jami Tawaeli[19]. 

 

Pernikahan ini dikaruniai enam orang anak yaitu Mutiara, Dg. Sima, Pattalau, Kodara, Taepa, dan Indokera[20]. Anaknya yang pertama menikah dengan Tumpalembah[21], Madika Malolo Tawaeli pada masa Magau Djaelangkara dan setelah itu menjadi Magau Tawaeli ke IX (1906-1908)[22]. Anak keduanya yaitu Dg. Sima, menikah dengan Labulembah[23], Magau ke X Tawaeli. Anak bungsunya yaitu Indokera juga menjadi istri dari Labulembah[24]. Pernikahan dengan Indokera adalah pernikahan “ganti tikar”[25].

 

Anak kedua Datumpedagi (Langgo) dari istri pertama, yaitu Linggulembah[26]. Ia pernah menjabat sebagai Madika Malolo Kerajaan Tawaeli pada masa pemerintahan Magau Yangge Bodu.[27] Masa jabatannya berakhir ketika ia digantikan oleh Sopelembah yang merupakan adik kandung Yangge Bodu[28]. Linggulembah memiliki tiga orang istri[29]. Dari istri kedua yaitu Momikida[30], ia dikaruniai lima orang anak yaitu Tumbapole, Royantowale, Irondalieu, Ramintasa dan Sukuria[31]. Royantowale kemudian menikah dengan Palawatika[32], seorang guru Sekolah Rakyat (SR) di Tondo[33], anak dari Lamapatompa Dg. Palili (cucu dari Dg. Palili Madika Malolo Palu) dan Madda (Madika Palu)[34]. Mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Kere, Yodi, dan Lamaundu[35]. Kere menjadi Kepala Kampung di Bale[36] dan keturunannya saat ini banyak menetap di Bale, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala[37]. Anak kedua yaitu Yodi, menikah dengan Mangalaulu Labulembah[38], anak kelima dari Magau Labulembah[39]. Mangalaulu pernah menjabat sebagai Kepala Distrik (Madika Malolo) pada masa pemerintahan kakaknya, Magau Yoto Labulembah pada tahun 1912-1926[40]. Pernikahan ini dikaruniai empat orang anak yaitu Intjebulava, Taso, Husin, dan Dg. Karadja[41].

 

Anak ketiga Royantowale yaitu Lamaundu menikah dengan Saoda, anak pertama dari Bualera Rangimbulava dan cucu dari Tanggarumpu (Baso Kavola)[42]. Tanggarumpu merupakan anak keempat Datumpedagi (Langgo) dari istri pertamanya[43]. Setelah menikah, Lamaundu dan Saoda menetap di Tondo[44]. Mereka dikaruniai 11 orang anak yaitu Sonti, Tei, Andi Kinema, Puteh Intan, Andi Tjodai, Andi Linta, Ladjalante, Sukria, Datulolo, Dg. Manyappa, dan Sonti[45]. Sekitar tahun 1920an, Lamaundu mendirikan masjid pertama di Tondo[46]. Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1930 dan diberi nama Al Istigfar. Imam pertama masjid ini adalah Mahajura dari Mamboro[47].

 

Anak ketiga Datumpedagi (Langgo) dari isteri pertama, yaitu Lasamalolo (Madika Bera) memiliki enam orang istri[48]. Dari istri pertama, ia dikaruniai tiga orang anak yaitu Yatjiara, Sesa, dan Taraondo[49]. Dari istri kedua ia dikaruniai satu orang anak yaitu Peraintan[50]. Dari istri ketiga ia dikaruniai dua orang anak yaitu Madjidjiri dan Uwatjino[51]. Dari istri keempat, ia dikaruniai satu orang anak yaitu Mainta[52]. Dari istri kelima, ia dikaruniai satu orang anak yaitu Lindoria[53]. Dari istri keenam ia dikaruniai dua orang anak yaitu Papa Malinda dan Pue Bao[54]. Total ada sepuluh orang anak dari keenam istri Lasamalolo.

 

Yatjiara, anak pertama Lasamalolo dari istri pertamanya, menikah dengan Makaria Linggulembah, anak pertama Linggulembah dengan istri pertamanya yang bernama Yaserine[55]. Sesa, anak kedua Linggulembah dari istri pertamanya, menikah dengan Tariro Pengalembah, anak ke sembilan dari Pengalembah[56].

 

Anak keempat Datumpedagi (Langgo) dari istri pertamanya, yaitu Tanggarumpu (Baso Kavola)[57] memiliki dua orang istri[58]. Dari istri pertama yang bernama Dei[59], ia dikaruniai empat orang anak yaitu Pandolembah, Rangimbulava, Pampi, dan Dino Intan[60]. Anak keduanya yaitu Rangimbulava menikah dengan Kota Libu dan dikaruniai lima orang anak yaitu Tembarante, Yandimpero, Daratika, Tjinumpero, dan Bualera[61]. Anak Rangimbulava yang ketiga yaitu Daratika, menikah dengan Magau Palu yaitu Djanggola[62]. Mereka dikaruniai dua orang anak yaitu Intje Tasa dan Dg. Karadja[63]. Anak Rangimbulava yang keempat yaitu Tjinumpero, menikah dengan Daeng Malindu yang merupakan Madika Malolo Kerajaan Palu[64]. Anak bungsu Rangimbulava yaitu Bualera, menikah dengan Mahmud yang merupakan Madika Wajo[65]. Mereka dikaruniai lima orang anak, salah satunya adalah Saoda, istri dari Lamaundu[66].

 

Istri kedua Tanggarumpu (Baso Kavola) bernama Dg. Manuru Andi Tondra[67]. Ia merupakan anak ke empat dari Andi Tondra, seorang Madika Bone dan Dg. Pangipi (Madika Beli) yang merupakan Magau ke VI Tawaeli[68]. Saudara tertuanya yaitu Yangge Bodu, menjadi Magau ke VII Tawaeli[69] dan kakak keduanya yaitu Sopelembah menjadi Madika Malolo Kerajaan Tawaeli pada masa Yangge Bodu menggantikan Linggulembah[70].

 

Pernikahan Tanggarumpu (Baso Kavola) dan Dg. Manuru dikaruniai empat orang anak yaitu Djaelangkara (Magau ke VIII Tawaeli), Mutia Padjulembah (Madika Labe), Labulembah (Magau ke X Tawaeli) dan Wuri Kodi (mati muda)[71].

 

Djaelangkara memiliki lima orang istri yaitu Siti Djeha, Adi Bulava, dan Minukati (Madika Pewunu), Lumpi, dan Ino Dg. Marumu[72]. Dari istri pertamanya, Djaelangkara dikaruniai dua orang anak yaitu Borahima dan Tandisenga[73]. Dari istri kedua, Djaelangkara dikaruniai satu orang anak yaitu Lamakarate (Magau Sigi)[74]. Dari istri ketiga, Djaelangkara dikaruniai satu orang anak yaitu Pilarante (Madika Matua Sigi Dolo)[75]. Dari istri keempat, Djaelangkara dikaruniai tiga orang anak yaitu Lamakampali (Magau ke XII Tawaeli), Lamaturaga, dan Edi Bulava (istri dari Magau ke XI Tawaeli, Yoto Labulembah)[76]. Dari istri kelima, Djaelangkara dikaruniai satu orang anak yaitu Dg. Marumu[77].

 

Mutia Padjulembah (Madika Labe) menikah dengan Sitiara[78], anak dari Daepalaka (anak dari Nurudin Daesalembah, yang menjabat sebagai Madika Matua Sampaga Hiru Liku Tawaeli) dan I Vodjo (Madika Matua Tawaeli pada masa Magau Djaelangkara)[79]. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak yaitu Datu Mariu (Bunguma) dan Tjino Intan[80]. Tjino Intan kemudian dinikahkan dengan Sulelembah, anak ke tiga dari Labulembah, hasil pernikahannya dengan istri pertamanya[81].

 

Labulembah memiliki dua orang istri yang dua-duanya merupakan anak dari Musa Datu Pengalembah dan cucu dari Pengalembah dan Datumpedagi (Pue Oge Nganga)[82]. Istrinya yang pertama adalah Dg. Sima (Daesima) yang merupakan anak kedua dari Musa Datu Pengalembah[83]. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak yaitu Yoto Labulembah (Magau ke XI Tawaeli), Daya Intan (Istri Lamakarate), Sule (Suami Tjino Intan), Rawa Intan (Istri Borman Lembah, Madika Malolo pada masa pemerintahan Magau Labulembah, ibu dari Moh. Duddin Borman Lembah, Nenek dari Mochtar Lutfi Lembah, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah periode 2009-2014), Mangalaulu Labulembah (Kepala Distrik pertama di Kerajaan Tawaeli), Busa Bulava, Djamaluddin (Kepala Distrik Tawaeli Utara pertama), dan Radjadato[84].

Pernikahan keduanya dengan Indokera yang merupakan anak bungsu Musa Datu Pengalembah, dikaruniai empat orang anak yaitu Dg. Mabela, Dg. Malanti, Latandripapa, dan Dg. Paraga[85].

 

Kesimpulan

Dari runutan silsilah di atas, kita dapat melihat bahwa garis keturunan Vatutela, memiliki andil penting dalam sejarah perjalanan Kerajaan Tawaeli. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke Kerajaan Sigi, Kerajaan Sigi Dolo, dan Kerajaan Palu. Magau Kerajaan Tawaeli setelah Yangge Bodu, semuanya memiliki garis keturunan tersebut. Magau Sigi, Lamakarate, juga berasal dari garis keturunan yang sama. Seorang puteri bangsawan dari garis keturunan ini juga menikah dengan Magau Palu yaitu Djanggola.

 

Jika kita melihat dari waktu kelahiran Datumpedagi (Pue Langgo) yang lahir pada masa yang sama dengan masa pemerintahan Magau Mariama (Magau Dusu)[86], kita dapat memperkirakan bahwa hubungan antara Kerajaan Tawaeli dan Kemadikaan Vatutela telah terjadi sejak sekitar abad ke pertengahan abad ke 17 dan awal abad ke 18.

 

Namun, jika kita melihat lebih jauh ke silsilah Datumpedagi (Langgo) dari pihak ibu, kita melihat bahwa beliau berasal dari daerah Bale[87] yang notabene letaknya tidak begitu jauh dari Tawaeli dan sebelum peristiwa Kagegere (Kapapu nu Kayumalue), Bale adalah wilayah Kerajaan Tawaeli (Kumbili). Bale juga diketahui merupakan tempat tujuan migrasi orang-orang dari Uesama pada abad ke 15 selain Vatutela dan Poboya.

 

Dari sini dapat kita lihat bahwa mungkin, sebelum Datumpedagi (Langgo) menikah dengan Daenggasia, anak dari Daetika Daesalembah di masa pemerintahan Daesalembah pada sekitar abad ke 17, telah terjadi interaksi antara Kerajaan Tawaeli dengan wilayah Vatutela.Vatutela bertransformasi dari sebuah hutan tempat berburu Magau I Parigi yaitu Makagero menjadi kawasan pemukiman yang telah ada sejak abad ke 15. Kawasan ini dihuni oleh orang-orang yang bermigrasi dari Uesama (kini Desa Binangga, Kabupaten Parigi Moutong). Migrasi ini juga terjadi di Bale dan Poboya. Hubungan yang jelas antara Vatutela dengan Kerajaan Tawaeli baru terlihat pada sekitar pertengahan abad ke 17 atau pada masa pemerintahan Magau Mariama (Magau Dusu), dengan menikahnya Daenggasia, anak dari Daetika Daesalembah dan cucu dari Daesalembah dengan Datumpedagi (Langgo), anak dari Woki, Madika Vatutela.

 

Pada masa pemerintahan Magau Yangge Bodu (1800-1900), Vatutela menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Tawaeli yang terbentang dari Ogoamas hingga Lasoani[88]. Setelah Magau Yangge Bodu wafat, ia digantikan oleh Djaelangkara, anak dari Tanggarumpu (Baso Kavola) dan cucu dari Datumpedagi (Langgo). Seterusnya secara berurutan, Kerajaan Tawaeli diperintah oleh Magau yang memiliki garis keturunan dari Datumpedagi (Langgo).

 

Bukti ini seakan membuat orang tidak percaya bahwa Vatutela, sebuah dusun kecil di pinggir Kelurahan Tondo, ternyata memiliki peran besar dalam sejarah perjalanan Kerajaan Tawaeli dan kerajaan-kerajaan lain di tanah Kaili seperti Kerajaan Palu, Sigi, dan Sigi Dolo. Ini membuktikan bahwa sebuah wilayah kecil dapat mempengaruhi sebuah wilayah yang besar.

Souraja dan Silsilah Raja Palu

 


Dalam sejarah Sulawesi Tengah, Kerajaan Palu merupakan salah satu kerajaan merdeka yang berkuasa secara de facto di Lembah Palu (Teluk Palu sebelah barat Sungai Palu sekarang). Kerajaan Palu juga merupakan kerajaan paling kecil di Sulawesi Tengah, di mana wilayah kekuasaanya hanya meliputi wilayah Kelurahan Lere, Siranindi, Kamonji, dan Kabonena.

Dalam berbagai buku atau literatur telah diterangkan bahwa setiap raja, bangsawan, dan kerabat kerajaan lainnya memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat feudal tradisional. Status ini masih berlaku sampai sekarang. Status tinggi yang ditunjukkan melalui cara berpakaian dan pakaian yang dikenakan, rumah tempat tinggalnya, bahkan dalam perkawinan. Souraja didirikan untuk membedakan dan memperlebar jarak dalam struktur sosial masyarakat di Lembah Palu.

Di setiap daerah atau penguasa mempunyai keunikan tersendiri yang kemudian dijadikan contoh teladan, disakralkan, bahkan dikeramatkan oleh rakyatnya. Di Palu, Souraja dijadikan sebagai pusat pemerintahan, semakin menambah kesakralan dan kekeramatan seorang raja. Dalam pemikiran-pemikiran tradisional dikatakan bahwa tempat bersemayamnya seorang raja, baik berupa tempat tinggal atau istana pemerintahannya merupakan tempat suci pilihan penguasa langit. Raja adalah keturunan penguasa langit yang diturunkan ke bumi untuk memerintah rakyat yang terpilih.

Melihat sisi fungsi ganda Souraja, maka proses efisiensi dan efektifitas bangunan menjadi perhatian tersendiri, karena bangunan ini semakin megah, mewah, dan sakral, namun kecil. Sehingga timbul satu asumsi bahwa Souraja merupakan cermin dari luas kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan palu yang begitu kecil dan sempit.

Dewasa ini masih ditemui sisa-sisa bangunan yang didirikan oleh Raja-Raja Palu, ketika Kerajaan Palu masih jaya. Salah satunya adalah Souraja yang berada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu tepatnya. Souraja adalah Istana Raja Palu, karena sejak didirikannya bangunan ini ditempati oleh Raja-Raja Palu dan keluarganya silih berganti. Kepemilikan bangunan ini pun berlaku secara turun-temurun.

Souraja didirikan pada akhir abad ke XIX di tengah-tengah perkampungan Suku Kaili yang merupakan masyarakat pendukung kejayaan Kerajaan Palu. Ada sebuah tradisi pembangunan istana yang dapat menjelaskan tentang suasana Lembah Palu pada saat itu. Di mana pada umumnya, istana-istana didirikan di atas sebidang tanah kosong (tanpa pemilik). Seiring waktu yang terus berputar dengan sendirinya tanah tersebut menjadi tanah kerajaan.

Di sisi lain, istana berada di pusat pemukiman penduduk (tengah kota), berarti di sekitar istana terdapat rumah-rumah penduduk. Pola ini merupakan sebuah strategi pertahanan militer yang paling jitu. Mengapa? Ketika istana diserang musuh, maka secara otomatis, penduduk (rakyat) ikut bertanggung jawab atas keselamatan istana, keluarga raja, dan keselamatan Negara. Rakyat akan bahu-membahu melindungi istana dan rajanya bagaimanapun caranya. Perbuatan demikian dianggap mulia, karena dikatakan sebagai wujud bela Negara.

Ternyata, Souraja sebagai istana raja di Palu didirikan berdasarkan tiga konsep di atas. Sekarang tanah tempat didirikannya istana tersebut adalah milik keluarga kerajaan. Istana ini semakin berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di Kelurahan Lere. Di sana-sini terdapat lahan-lahan kosong tanpa rumah penduduk, tetapi tanah kosong tersebut adalah milik keluarga kerajaan.

Orang Kaili mengatakan bahwa Souraja adalah rumah besar dengan pengertian mempunyai kelebihan dan kekeramatan tersendiri. Kelebihan bangunan ini terdapat pada fungsinya sebagai tinggal raja atau bangsawan, maka dengan sendirinya bangunan ini pun dianggap keramat. Kekeramatan souraja dilekatkan pada kekeramatan raja yang merupakan keturunan dari langit, “To Manuru”.

Keberadaan Souraja ternyata dikenal sebagai rumah raja di hampir seluruh suku dan daerah di Sulawesi Tengah. Walaupun terdapat perbedaan penamaan bangunan ini. Kenyataan ini berlaku jamak di berbagai suku dan bahasa. Penyebabnya yaitu adanya pengaruh kerajaan-kerajaan kecil yang pernah berkuasa di daerah ini. Pada akhirnya, muncul sebuah bentuk kebudayaan di wilayah tersebut. Di Lembah Palu yang didiami oleh mayoritas Suku Kaili, rumah tinggal raja atau bangsawan disebut Souraja.

Pembuatan Souraja telah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Kaili di Lembah Palu. Bentuk perumahan ini telah ada sejak zaman kuno dan purba, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Ini dibuktikan dengan keberadaan Souraja yang merupakan perpaduan berbagai kebudayaan. Ketuaan kebudayaan ini dapat dilihat dari keberadaan dari posisi Gampiri. Sebenarnya Gampiri telah ada sejak masa awal revolusi kebudayaan manusia, dari kehidupan berpindah-pindah ke kehidupan menetap yang ditandai dengan munculnya pola bercocok tanam pada masyarakat-masyarakat tradisional.

Sejak zaman purba sampai sekarang posisi Gampiri tetap seperti belum terjadi perubahan yang berarti. Perubahan bentuk kebudayaan masyarakat selalu terjadi, hasil yang diciptakannya selalu berbeda di setiap masa yang berlalu. Pengaruh kebudayaan luar bagai bola kristal yang menggelinding seiring perubahan waktu yang ada. Demikian pula dengan kebudayaan di Lembah Palu yang mendapat pengaruh kebudayaan Islam, Melayu dan Bugis, Makassar, maupun Mandar di abad ke XVII. Begitu juga dengan budaya-budaya daerah lain pun masuk memperkaya kebudayaan masyarakat palu dari segi yang lain. Sehingga proses adopsi dan akulturasi budaya pun berlangsung dalam kebudayaan Suku Kaili Lembah Palu.

Hasil adopsi dan akulturasi budaya di Lembah Palu ini masih terlihat jelas di setiap sendi kehidupan masyarakat suku Kaili. Pengaruh kebudayaan suku-suku di Sulawesi Selatan lebih terasa dari suku yang lain seperti Jawa, Banjar, Minang, dan lain-lain. Mulai dari nama sampai tata cara perkawinan adat, pakaian tradisional pun mengalami akulturasi. Salah satunya dapat disaksikan melalui keberadaan Souraja di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat tersebut. 

Keberadaan Souraja tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kerajaan Palu maupun Sulawesi Tengah. Bangunan ini merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Kerajaan Palu. Souraja dibangun tahun 1892 pada masa pemerintahan Raja Yodjokodi. Souraja dibangun di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Menurut Iksam, wilayah Kampung Lere pada masa Raja Yodjokodi merupakan bagian dari wilayah Siranindi. Siranindi merupakan salah satu anggota patanggota Kerajaan Palu bersama Tatanga, Besusu dan Lolu. Alasan pemilihan wilayah Siranindi (baca: Lere) sebagai lokasi pembangunan Souraja, menurut Iksam disebabkan oleh letak wilayah Siranindi yang terletak di dekat muara sungai. Lebih lanjut, Iksam mengemukakan bahwa sebagian besar kerajaan di Lembah Palu menggunakan konsep “hulu-hilir”. Konsep inilah yang melatarbelakangi pemilihan Siranindi sebagai lokasi pembangunan Souraja.

Sebelum Souraja dibangun, pusat Kerajaan Palu terletak di Besusu. Hal ini dilihat dari ditemukannya makam Pue Nggari (Raja Palu I) di belakang kantor kelurahan Besusu (di depan RSUD Undata). Selain itu, terdapat pula kompleks makam tua di Besusu yang disinyalir merupakan makam Raja-Raja Palu. Kemudian, dugaan ini juga diperkuat dengan adanya asumsi bahwa Dato Karama berlabuh di Besusu (Karampe) pada saat pertama kali menginjakkan kaki di Lembah Palu dikarenakan Besusu saat itu menjadi pelabuhan Kerajaan Palu. Selain itu, muncul temuan bahwa Istana Raja Palu sebelum Souraja juga berada di Besusu.

Sumber lain menyebutkan bahwa Besusu menjadi pusat pemerintahan pada saat Pue Nggari (Lawegasi Bodawa) bersama rakyatnya turun dari Marima (daerah pegungungan di atas Poboya), kemudian tinggal beberapa lama di Pantosu, dan setelah itu pindah lagi di Valangguni kemudian pindah lagi di lokasi penggaraman saat ini, kemudian pindah lagi ke Pandapa yang saat ini lebih dikenal dengan Besusu.

Menurut Masyhuddin Masyhuda bahwa Pue Nggari berasal dari Vonggi, Kampung Topotara pada perbukitan bagian timur Tanah Kaili. Di sana terdapat kuburan Pue Mpoluku yang dikeramatkan. Dari kampong inilah lahir seorang Puteri yang kawin dengan magau dari vau, tinggal di seberang sungai Kaili, Kampung Topo ledo (Masyhuda, 1997:84).

Setelah tinggal di Besusu, dibuatlah Istana untuk Pue Nggari dan tempatnya dibuat dari bahan tanah disusun secara tinggi dan bertingkat. Setelah dibuatkan Istana di Besusu, Pue Nggari kemudian  menikah dengan Pue Puti dari Dolo, Pue Putih adalah saudara dari penguasa Dolo yang disebut pada waktu itu “Bulanggo”.

Pue Nggari mempunyai tiga orang putera dan dua orang puteri yang berada di Palu yaitu :

 

Putera :

-         Lasamaingu

-         Pue Songu dan

-         Andi Lana

 

Puteri

-         Yenda Bulava dan

-         Pue Rupiah,

 

Tidak lama Pue Nggari mendiami Lemba Palu kemudian diikuti keluarganya dari Malino yaitu :

-         Rombongan Yantakalena turun dan mendiami Kayu Malue

-         Rombongan Pue Voka  turun dan mendiami Vatu Tela

-      Rombongan Pue Nggari turun di lokasi penggaraman nama saat ini, dan kemudian  mendiami Besusu.

 

Di lokasi penggaraman ini digalilah sumur oleh seorang keluarga Pue Nggari yang bernama Rasede, sumur inilah yang diberi nama  “Buvu Rasede” sampai sekarang.

 

-     Rombongan dari Bulili, Gunung Gawalise dan sekitarnya turun langsung ke “Tatanga” di bawah kepala suku bernama Raliangi, kemudian langsung mendiamai Bulava dan Penggeve  tidak lama kemudian terus ke Siranindi.

 

Pada masa Pue Nggari, Islam sudah masuk dan mulai menyebar ditandai dengan kedatangan Abdullah Raqie (Dato Karama) di muara Teluk Palu (Karampe) dengan menggunakan perahu Jung dengan rombongan dari Minangkabau yang kurang lebih berjumlah 50 orang. Rombongan tersebut dipimpin oleh Abdullah Raqie yang kemudian dikenal sebagai Dato Karama. Beliau membawa serta istrinya yang bernama Ince Jille, iparnya yang bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince Dingko. Mereka datang dengan alat-alat kebesarannya seperti Bendera Kuning, Panji Orang-Orangan, Puade, Jijiri, Bulo, Gong, dan Kakula (Kulintang). Kedatangan Dato Karama beserta rombongan ini untuk adalah untuk menunaikan tugas menyiarkan Islam yang diperintahkan oleh Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda.

 

Dato Karama kemudian mengislamkan Pue Nggari beserta keluarganya. Peristiwa pengislaman ini dikenal dengan istilah ”Po Vunju Tevo”. Keluarga-keluarga  bangsawan yang turut di Islamkan sebagai berikut :

-         Vua Pinano isteri dari Pue Nggari

-         Lasamaingu

-         Andi Lana bersama isterinya dari Tatanga

-         Pue Songu tidak mau di Islamkan

-         Yenda Bulava , suaminya tidak mau di Islamkan dan tidak menerima agama Islam.

-         Pue Rupiah yang dikenal dengan Pue Sese

 

 Keluarga dari Labunggulili, keturunan dari Silalangi. Serta di Islamkan juga Pue Njidi yang berkedudukan Panggewe (Kabonena).

Setelah masuk Islam, Pue Nggari kemudian menetapkan struktur pemerintahannya. Strukturnya adalah sebagai berikut;

-         Magau adalah Pue Nggari

-         Madika Malolo dari keluarga Silalangi

-         Madika Matua tetap dipegang keluarga di Besusu

-         Baligau keluarga Madika Tatanga

 

Pue Nggari (Siralangi) memerintah selama kurun waktu antara 1796 – 1805. Setelah Pue Nggari mangkat, ia digantikan oleh Labungulili dari keluarga Silalangi. Keluarga Silalangi menjabat sebagai Madika Malolo pada masa pemerintahan Pue Nggari. Labungulili kemudian di kenal dengan sebutan I Dato Labungulili. Ia merupakan salah satu anak dari Pue Nggari. I Dato Labungulili diperkirakan memerintah selama kurun waktu antara tahun 1805-1815. I Dato' Labungulili menikah di Daeasia (Inturo) di Tawaeli, menurunkan Dae Pangipi. Ia juga menikah dengan anak dari mubaligh asal Mandar yang menyebabkan Islam di Tawaeli, Daeng Kondang. Selain itu, Labungulili juga menikah dengan Dae Sabiba.

 

Labungulili kemudian digantikan oleh Malasigi yang bergelar Malasigi Bulupalo. Malasigi merupakan anak dari Panjororo (Pue Bongo) dengan Buse Mbaso. Pue Bongo adalah Raja Bangga yang merupakan anak dari Bulava Lembah dan Yenda Bulava. Yenda Bulava merupakan anak dari Pue Nggari dan Pue Puti.

 

Malasigi memerintah dalam kurun waktu antara tahun 1815-1826. Pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Palu tetap berada di Besusu. Tetapi kawasan Panggona (Lere) mulai ditempati dan dikembangkan..

 

Malasigi kemudian digantikan oleh Daelangi yang memerintah antara tahun 1826-1835.

 

Daelangi merupakan anak dari Pue Lomba. Daelangi memiliki nama lain, yakni Dae Ntalili. Dirinya digantikan oleh Djalalembah, yang anak dari Daelangi. Setelah Djalalembah, tahta Kerajaan Palu dipegang oleh Lamakaraka. Lamakaraka adalah anak dari Malasigi dan Indjola. Lamakaraka bergelar Madika Kodi Palo. Ia memerintah selama 18 tahun antara 1850-1868.

 

Setelah Lamakaraka, yang menduduki tahta Kerajaan Palu adalah Raja Maili (Mangge Risa). Ia merupakan anak dari Lapatau, saudara dari Djalalembah.

 

Pada tahun 1888, Raja Maili digantikan oleh Yodjokodi. Menurut silsilah dari Souraja bahwa Yodjokodi merupakan anak dari Lamakaraka yang kawin dengan Dei Donggala. Perkawinan ini dikaruniai empat orang anak yaitu; Suralembah, Panundu, Yodjokodi, dan Bidadari. Yodjokodi biasa dipanggil dengan sebutan Toma I Sima. Yodjokodi memerintah selama 18 tahun dari tahun 1888-1906. Setelah empat tahun memerintah, Yodjokodi kemudian memindahkan pusat penerintahan dari Pandapa (Besusu) ke Panggona (Lere) yang masuk ke dalam wilayah Tangga Banggo (Siranindi).

 

Pemindahan pusat pemerintahan ini ditandai dengan pembangunan Souraja. Souraja dibangun pada tahun 1892. Pembangunan Souraja dikepalai oleh Hj. Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi. Dalam pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar sehingga Nampak corak Banjar di bangunan tersebut. Souraja digunakan oleh Yodjokodi sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan.

 

Pada tahun 1906, Yodjokodi digantikan oleh Parampasi. Parampasi merupakan anak Yodjokodi dari istri pertama yaitu Bida. Parampasi memiliki dua orang saudara yaitu La Pariusi dan Idjazah. Yodjokodi sendiri memiliki tiga isteri yaitu I Ntondei yang merupakan Ratu Sigi, Bida dan Jabatjina. Perkawinan Yodjokodi dengan Jabatjina melahirkan Palimuri yang kemudian menjadi Presiden Sarekat Islam Palu.

 

Pada masa pemerintahan Parampasi, Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal Raja dan sebagai pusat pemerintahan. Parampasi menikah dengan Hi. Indocenni Pettalolo dan dikaruniai delapan orang anak, masing-masing  empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Keempat anak perempuan Parampasi masing-masing bernama; Andi Wali, Andi Tase, Anri Turu, dan Anri Ratu. Sedangkan anak laki-lakinya bernama; Baso Parenrengi, Andi Wawo, Andi Tjatjo, dan Adri Tangkau.

 

Parampasi memerintah selama 15 tahun dalam kurun waktu antara tahun 1906-1918. Parampasi wafat akibat wabah Flu Spanyol. Setelah Parampasi, Kerajaan Palu diperintah oleh Idjazah. Idjazah merupakan saudara Parampasi. Idjazah memerintah antara tahun 1918 -1921.

 

Idjazah digantikan oleh keponakannya Djanggola. Djanggola merupakan anak dari La Pariusi, saudara dari Parampasi dan Idjazah. Djanggola merupakan anak kedua dari Pariusi yang merupakan saudara dari Parampasi. Djanggola memiliki lima orang saudara yaitu; Baso, Itei, Djuri, Todi, dan Todji.

 

Masa pemerintahan Djanggola berlangsung hingga 1945. Pada saat Djanggola memerintah, ia menunjuk pamannya, Palimuri sebagai penasehatnya. Dalam struktur pemerintahannya, Andi Wawo Parampasi menjabat sebagai Madika Matua dan Tjatjo Idjazah sebagai Madika Malolo. Artinya, bahwa Tjatjo Idjazah telah disiapkan untuk menggantikan Djanggola sebagai Magau Kerajaan Palu. 

 

Pada masa pemerintahan Djanggola, Souraja beberapa kali mengalami pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942, Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1942-1945, tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Souraja dialihfungsikan sebagai tangsi militer tentara Jepang walaupun fungsi Souraja masih sebagai kantor pemerintahan Kerajaan Palu. Pada masa Jepang itu, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah berubah nama menjadi suco. Lebih jauh dalam buku “Sejarah daerah Sulawesi Tengah” dijelaskan “kalau pada masa pemerintahan Belanda atasan-atasannya (asisten Residen dan Kontroliur) orang Belanda, maka pada zaman Jepang kedudukan ini ditempati oleh Jepang, juga raja-raja tetap, hanya namanya diganti memakai istilah Jepang. Raja disebut suco dan kepala distrik disebut gunco. Peranannya pun sama pada zaman Hindia Belanda” (Depdikbud, 1996/1997:151).

 

Kemudian pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu.

 

Pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Tetapi, akibat revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1950, memaksa rakyat dan penguasa berjuang di luar jalur pemerintahan kerajaan. Walaupun seorang raja masih menjadi pengendali perjuangan rakyat, tetapi umumnya tidak menggunakan kekuasaannya sebagai raja saat turun ke basis-basis perjuangan rakyat. Hal tersebut mengakibatkan Souraja jarang ditempati oleh Raja Djanggola. Selain itu Raja Djanggola juga mendirikan rumahnya sendiri tepat di samping Souraja.

 

Djanggola menikah dengan anak dari Parampasi yaitu Andi Wali Parampasi. Setelah Andi Wali meninggal, Djanggola menikah lagi dengan adik Andi Wali Parampasi yang bernama Andi Ratu Parampasi. Pernikahan Djanggola dan Andi Ratu Parampasi biasa disebut “tukar tikar”.

 

Selanjutnya, Djanggola digantikan oleh Tjatjo Idjazah. Tjatjo Idjazah merupakan sepupu dari Djanggola. Tjatjo Idjazah merupakan anak dari Idjazah dengan Madika Labuan yang bernama Impero.

 

Pada masa pemerintahan Tjatjo Idjazah, Souraja dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Namun, Magau Tjatjo Idjazah jarang menempati Souraja karena ia lebih sering berada di kediamannya di Besusu (Apotik Pancar, Jalan Sultan Hasanuddin sekarang). Hal ini menyebabkan Souraja sering tidak didiami oleh Magau Tjatjo Idjazah.

 

Pada tahun 1958, ketika Permesta memberontak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, Souraja hadir dengan fungsi baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Souraja dijadikan markas tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan Permesta di Sulawesi Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.

 

Pada tahun 1960, Kerajaan Palu resmi dibubarkan dengan Tjatjo Idjazah sebagai raja terakhirnya. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Tjatjo Idjazah tidak memiliki keturunan. Selanjutnya, Palu ditetapkan sebagai wilayah Swapraja dengan Andi Wawo Parampasi sebagai Kepala  Swaparaja.

 

Bangunan Souraja terakhir ditempati oleh Raja Palu Tjatjo Idjazah. Tetapi Tjatjo Idjazah tidak menetap di Banua Oge karena ia lebih sering berada di rumahnya di kawasan sekarang jadi Apotik Pancar. Setelah Kerajaan Palu resmi dibubarkan, bangunan ini dikelola oleh Andi Tjatjo Parampasi dan Andi Tase Parampasi. Andi Tjatjo merupakan anak ke 4 dari Raja Palu, Parampasi. Setelah Andi Tjatjo Parampasi mangkat pada tahun 1974, pengelolaan rumah ini diserahkan kepada anaknya, Andi Harun Parampasi.

Pada tahun 1982, bangunan ini diinventarisasi oleh pemerintah dan kemudian dilakukan pemugaran. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1991-1992, dilakukan pemugaran secara keseluruhan terhadap bangunan ini yang dilakukan oleh pemerintah. Saat ini, bangunan ini dikelola oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya. Penjaga situs Souraja saat ini adalah orang yang dipekerjakan oleh Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu. Tetapi, penunjukkan tersebut tidak disertai dengan pembekalan pengetahuan dan peningkatan kesejahteraan bagi si penjaga situs. Pengelola yang diamanatkan keluarga untuk menjaga rumah ini adalah Mehdiantara Datupalinge, anak dari Syafei Datupalinge dan Sima Parampasi. Jadi kesimpulannya, sejak Kerajaan Palu resmi dibubarkan, bangunan ini dijaga oleh keluarga Parampasi sampai sekarang walaupun bangunan ini sudah menjadi cagar budaya yang di inventarisir oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan dan minimnya tingkat kesejahteraan penjaga situs Souraja sehingga keluarga yang merasa mewarisi amanat untuk menjaga situs tersebut membantu untuk menjaga dan mengelola situs tersebut.  


Sumber :  DISINI

Selasa, 23 Juli 2024

Perjuangan Orang Tompu Membangun Kembali Kampungnya

 


Asal Muasal Tompu

 

Kata Tompu berasal dari kata potompu nubengga. Artinya tempat berkubangnya Kerbau. Menurut kisah para tetua adat, Tompu diciptakan oleh Tupu A’ta (Maha Kuasa). Konon, pada suatu senja Maha Kuasa menurunkan segenggam tanah (Tana Sanggamu) dan seekor Ayam (Manu Samba) di Gunung Kalinju. Tanah Sanggamu melebar menjadi sebidang tanah dan di atasnya Manu Samba mengais-ngaiskan cakarnya. Bekas cakaran tersebut menyebar ke segala penjuru menjadi beragam tanaman diantaranya pohon Peliu, Lampeuju, Lambuangi, Ganaga dan Lanjo.

 

Tupu A’ta kemudian menjelma menjadi Nebete. Kelak Nebete inilah yang menjadi leluhur Orang Tompu atau Etnis Kaili yang selanjutnya mengatur pemberlakuaan aturan- aturan adat bagi Orang Tompu yang kemudian dipergunakan dari generasi ke generasi.

 

Manusia pertama ini, selanjutnya menurunkan generasi berikutnya yang tersebar dan mendiami wilayah Boya Kalinju, Boya Bulili, Boya Bolovatu, Boya Lante, Boya Sidima, Boya Kambilo, Boya Lumbuoge, dan Boya Tanamenggila. Singkatnya, Orang Tompu ini merupakan leluhur dari Etnis To Po Ledo yang mendiami sebagian besar Lembah Palu.

 

Saat ini, Ngata (Desa) Tompu merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi ini berjarak 10 km. dari Ibu Kota Kecamatan dan kurang lebih 50 km. dari Ibu Kota Kabupaten Donggala dan hanya 15 km. dari Kota Palu. Namun meski hanya sepenggal dari Palu, lokasi ini masih terisolir karena akses jalan menuju lokasi tersebut masih berupa jalan setapak yang lebarnya hanya 1,5 m. dengan jenis tanah liat yang licin dan lengket.

 

 

Artikel ini termuat dalam buku Catatan Dari Desa Tentang Desa, bisa dibaca dan diunduh di sini

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞