Dalam sejarah Sulawesi Tengah, Kerajaan Palu merupakan salah satu kerajaan merdeka yang berkuasa secara de facto di Lembah Palu (Teluk Palu sebelah barat Sungai Palu sekarang). Kerajaan Palu juga merupakan kerajaan paling kecil di Sulawesi Tengah, di mana wilayah kekuasaanya hanya meliputi wilayah Kelurahan Lere, Siranindi, Kamonji, dan Kabonena.
Dalam berbagai buku atau literatur telah diterangkan bahwa setiap raja, bangsawan, dan kerabat kerajaan lainnya memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat feudal tradisional. Status ini masih berlaku sampai sekarang. Status tinggi yang ditunjukkan melalui cara berpakaian dan pakaian yang dikenakan, rumah tempat tinggalnya, bahkan dalam perkawinan. Souraja didirikan untuk membedakan dan memperlebar jarak dalam struktur sosial masyarakat di Lembah Palu.
Di setiap daerah atau penguasa mempunyai keunikan tersendiri yang kemudian dijadikan contoh teladan, disakralkan, bahkan dikeramatkan oleh rakyatnya. Di Palu, Souraja dijadikan sebagai pusat pemerintahan, semakin menambah kesakralan dan kekeramatan seorang raja. Dalam pemikiran-pemikiran tradisional dikatakan bahwa tempat bersemayamnya seorang raja, baik berupa tempat tinggal atau istana pemerintahannya merupakan tempat suci pilihan penguasa langit. Raja adalah keturunan penguasa langit yang diturunkan ke bumi untuk memerintah rakyat yang terpilih.
Melihat sisi fungsi ganda Souraja, maka proses efisiensi dan efektifitas bangunan menjadi perhatian tersendiri, karena bangunan ini semakin megah, mewah, dan sakral, namun kecil. Sehingga timbul satu asumsi bahwa Souraja merupakan cermin dari luas kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan palu yang begitu kecil dan sempit.
Dewasa ini masih ditemui sisa-sisa bangunan yang didirikan oleh Raja-Raja Palu, ketika Kerajaan Palu masih jaya. Salah satunya adalah Souraja yang berada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu tepatnya. Souraja adalah Istana Raja Palu, karena sejak didirikannya bangunan ini ditempati oleh Raja-Raja Palu dan keluarganya silih berganti. Kepemilikan bangunan ini pun berlaku secara turun-temurun.
Souraja didirikan pada akhir abad ke XIX di tengah-tengah perkampungan Suku Kaili yang merupakan masyarakat pendukung kejayaan Kerajaan Palu. Ada sebuah tradisi pembangunan istana yang dapat menjelaskan tentang suasana Lembah Palu pada saat itu. Di mana pada umumnya, istana-istana didirikan di atas sebidang tanah kosong (tanpa pemilik). Seiring waktu yang terus berputar dengan sendirinya tanah tersebut menjadi tanah kerajaan.
Di sisi lain, istana berada di pusat pemukiman penduduk (tengah kota), berarti di sekitar istana terdapat rumah-rumah penduduk. Pola ini merupakan sebuah strategi pertahanan militer yang paling jitu. Mengapa? Ketika istana diserang musuh, maka secara otomatis, penduduk (rakyat) ikut bertanggung jawab atas keselamatan istana, keluarga raja, dan keselamatan Negara. Rakyat akan bahu-membahu melindungi istana dan rajanya bagaimanapun caranya. Perbuatan demikian dianggap mulia, karena dikatakan sebagai wujud bela Negara.
Ternyata, Souraja sebagai istana raja di Palu didirikan berdasarkan tiga konsep di atas. Sekarang tanah tempat didirikannya istana tersebut adalah milik keluarga kerajaan. Istana ini semakin berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di Kelurahan Lere. Di sana-sini terdapat lahan-lahan kosong tanpa rumah penduduk, tetapi tanah kosong tersebut adalah milik keluarga kerajaan.
Orang Kaili mengatakan bahwa Souraja adalah rumah besar dengan pengertian mempunyai kelebihan dan kekeramatan tersendiri. Kelebihan bangunan ini terdapat pada fungsinya sebagai tinggal raja atau bangsawan, maka dengan sendirinya bangunan ini pun dianggap keramat. Kekeramatan souraja dilekatkan pada kekeramatan raja yang merupakan keturunan dari langit, “To Manuru”.
Keberadaan Souraja ternyata dikenal sebagai rumah raja di hampir seluruh suku dan daerah di Sulawesi Tengah. Walaupun terdapat perbedaan penamaan bangunan ini. Kenyataan ini berlaku jamak di berbagai suku dan bahasa. Penyebabnya yaitu adanya pengaruh kerajaan-kerajaan kecil yang pernah berkuasa di daerah ini. Pada akhirnya, muncul sebuah bentuk kebudayaan di wilayah tersebut. Di Lembah Palu yang didiami oleh mayoritas Suku Kaili, rumah tinggal raja atau bangsawan disebut Souraja.
Pembuatan Souraja telah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Kaili di Lembah Palu. Bentuk perumahan ini telah ada sejak zaman kuno dan purba, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Ini dibuktikan dengan keberadaan Souraja yang merupakan perpaduan berbagai kebudayaan. Ketuaan kebudayaan ini dapat dilihat dari keberadaan dari posisi Gampiri. Sebenarnya Gampiri telah ada sejak masa awal revolusi kebudayaan manusia, dari kehidupan berpindah-pindah ke kehidupan menetap yang ditandai dengan munculnya pola bercocok tanam pada masyarakat-masyarakat tradisional.
Sejak zaman purba sampai sekarang posisi Gampiri tetap seperti belum terjadi perubahan yang berarti. Perubahan bentuk kebudayaan masyarakat selalu terjadi, hasil yang diciptakannya selalu berbeda di setiap masa yang berlalu. Pengaruh kebudayaan luar bagai bola kristal yang menggelinding seiring perubahan waktu yang ada. Demikian pula dengan kebudayaan di Lembah Palu yang mendapat pengaruh kebudayaan Islam, Melayu dan Bugis, Makassar, maupun Mandar di abad ke XVII. Begitu juga dengan budaya-budaya daerah lain pun masuk memperkaya kebudayaan masyarakat palu dari segi yang lain. Sehingga proses adopsi dan akulturasi budaya pun berlangsung dalam kebudayaan Suku Kaili Lembah Palu.
Hasil adopsi dan akulturasi budaya di Lembah Palu ini masih terlihat jelas di setiap sendi kehidupan masyarakat suku Kaili. Pengaruh kebudayaan suku-suku di Sulawesi Selatan lebih terasa dari suku yang lain seperti Jawa, Banjar, Minang, dan lain-lain. Mulai dari nama sampai tata cara perkawinan adat, pakaian tradisional pun mengalami akulturasi. Salah satunya dapat disaksikan melalui keberadaan Souraja di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat tersebut.
Keberadaan Souraja tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kerajaan Palu maupun Sulawesi Tengah. Bangunan ini merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Kerajaan Palu. Souraja dibangun tahun 1892 pada masa pemerintahan Raja Yodjokodi. Souraja dibangun di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Menurut Iksam, wilayah Kampung Lere pada masa Raja Yodjokodi merupakan bagian dari wilayah Siranindi. Siranindi merupakan salah satu anggota patanggota Kerajaan Palu bersama Tatanga, Besusu dan Lolu. Alasan pemilihan wilayah Siranindi (baca: Lere) sebagai lokasi pembangunan Souraja, menurut Iksam disebabkan oleh letak wilayah Siranindi yang terletak di dekat muara sungai. Lebih lanjut, Iksam mengemukakan bahwa sebagian besar kerajaan di Lembah Palu menggunakan konsep “hulu-hilir”. Konsep inilah yang melatarbelakangi pemilihan Siranindi sebagai lokasi pembangunan Souraja.
Sebelum Souraja dibangun, pusat Kerajaan Palu terletak di Besusu. Hal ini dilihat dari ditemukannya makam Pue Nggari (Raja Palu I) di belakang kantor kelurahan Besusu (di depan RSUD Undata). Selain itu, terdapat pula kompleks makam tua di Besusu yang disinyalir merupakan makam Raja-Raja Palu. Kemudian, dugaan ini juga diperkuat dengan adanya asumsi bahwa Dato Karama berlabuh di Besusu (Karampe) pada saat pertama kali menginjakkan kaki di Lembah Palu dikarenakan Besusu saat itu menjadi pelabuhan Kerajaan Palu. Selain itu, muncul temuan bahwa Istana Raja Palu sebelum Souraja juga berada di Besusu.
Sumber lain menyebutkan bahwa Besusu menjadi pusat pemerintahan pada saat Pue Nggari (Lawegasi Bodawa) bersama rakyatnya turun dari Marima (daerah pegungungan di atas Poboya), kemudian tinggal beberapa lama di Pantosu, dan setelah itu pindah lagi di Valangguni kemudian pindah lagi di lokasi penggaraman saat ini, kemudian pindah lagi ke Pandapa yang saat ini lebih dikenal dengan Besusu.
Menurut Masyhuddin Masyhuda bahwa Pue Nggari berasal dari Vonggi, Kampung Topotara pada perbukitan bagian timur Tanah Kaili. Di sana terdapat kuburan Pue Mpoluku yang dikeramatkan. Dari kampong inilah lahir seorang Puteri yang kawin dengan magau dari vau, tinggal di seberang sungai Kaili, Kampung Topo ledo (Masyhuda, 1997:84).
Setelah tinggal di Besusu, dibuatlah Istana untuk Pue Nggari dan tempatnya dibuat dari bahan tanah disusun secara tinggi dan bertingkat. Setelah dibuatkan Istana di Besusu, Pue Nggari kemudian menikah dengan Pue Puti dari Dolo, Pue Putih adalah saudara dari penguasa Dolo yang disebut pada waktu itu “Bulanggo”.
Pue Nggari mempunyai tiga orang putera dan dua orang puteri yang berada di Palu yaitu :
Putera :
- Lasamaingu
- Pue Songu dan
- Andi Lana
Puteri
- Yenda Bulava dan
- Pue Rupiah,
Tidak lama Pue Nggari mendiami
Lemba Palu kemudian diikuti keluarganya dari Malino yaitu :
- Rombongan Yantakalena turun dan
mendiami Kayu Malue
- Rombongan Pue Voka turun dan mendiami Vatu Tela
- Rombongan Pue Nggari turun di lokasi
penggaraman nama saat ini, dan kemudian
mendiami Besusu.
Di lokasi penggaraman ini
digalilah sumur oleh seorang keluarga Pue Nggari yang bernama Rasede, sumur
inilah yang diberi nama “Buvu Rasede”
sampai sekarang.
- Rombongan dari Bulili, Gunung Gawalise dan
sekitarnya turun langsung ke “Tatanga” di bawah kepala suku bernama Raliangi,
kemudian langsung mendiamai Bulava dan Penggeve
tidak lama kemudian terus ke Siranindi.
Pada masa Pue Nggari, Islam sudah
masuk dan mulai menyebar ditandai dengan kedatangan Abdullah Raqie (Dato
Karama) di muara Teluk Palu (Karampe) dengan menggunakan perahu Jung dengan
rombongan dari Minangkabau yang kurang lebih berjumlah 50 orang. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Abdullah Raqie yang kemudian dikenal sebagai Dato
Karama. Beliau membawa serta istrinya yang bernama Ince Jille, iparnya yang
bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince Dingko. Mereka datang
dengan alat-alat kebesarannya seperti Bendera Kuning, Panji Orang-Orangan,
Puade, Jijiri, Bulo, Gong, dan Kakula (Kulintang). Kedatangan Dato Karama
beserta rombongan ini untuk adalah untuk menunaikan tugas menyiarkan Islam yang
diperintahkan oleh Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda.
Dato Karama kemudian mengislamkan
Pue Nggari beserta keluarganya. Peristiwa pengislaman ini dikenal dengan
istilah ”Po Vunju Tevo”. Keluarga-keluarga
bangsawan yang turut di Islamkan sebagai berikut :
- Vua Pinano isteri dari Pue Nggari
- Lasamaingu
- Andi Lana bersama isterinya dari
Tatanga
- Pue Songu tidak mau di Islamkan
- Yenda Bulava , suaminya tidak mau di
Islamkan dan tidak menerima agama Islam.
- Pue Rupiah yang dikenal dengan Pue
Sese
Keluarga dari Labunggulili, keturunan dari
Silalangi. Serta di Islamkan juga Pue Njidi yang berkedudukan Panggewe
(Kabonena).
Setelah masuk Islam, Pue Nggari
kemudian menetapkan struktur pemerintahannya. Strukturnya adalah sebagai
berikut;
- Magau adalah Pue Nggari
- Madika Malolo dari keluarga Silalangi
- Madika Matua tetap dipegang keluarga
di Besusu
- Baligau keluarga Madika Tatanga
Pue Nggari (Siralangi) memerintah
selama kurun waktu antara 1796 – 1805. Setelah Pue Nggari mangkat, ia
digantikan oleh Labungulili dari keluarga Silalangi. Keluarga Silalangi
menjabat sebagai Madika Malolo pada masa pemerintahan Pue Nggari. Labungulili
kemudian di kenal dengan sebutan I Dato Labungulili. Ia merupakan salah satu
anak dari Pue Nggari. I Dato Labungulili diperkirakan memerintah selama kurun
waktu antara tahun 1805-1815. I Dato' Labungulili menikah di Daeasia (Inturo)
di Tawaeli, menurunkan Dae Pangipi. Ia juga menikah dengan anak dari mubaligh
asal Mandar yang menyebabkan Islam di Tawaeli, Daeng Kondang. Selain itu,
Labungulili juga menikah dengan Dae Sabiba.
Labungulili kemudian digantikan
oleh Malasigi yang bergelar Malasigi Bulupalo. Malasigi merupakan anak dari
Panjororo (Pue Bongo) dengan Buse Mbaso. Pue Bongo adalah Raja Bangga yang merupakan
anak dari Bulava Lembah dan Yenda Bulava. Yenda Bulava merupakan anak dari Pue
Nggari dan Pue Puti.
Malasigi memerintah dalam kurun
waktu antara tahun 1815-1826. Pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Palu
tetap berada di Besusu. Tetapi kawasan Panggona (Lere) mulai ditempati dan
dikembangkan..
Malasigi kemudian digantikan oleh
Daelangi yang memerintah antara tahun 1826-1835.
Daelangi merupakan anak dari Pue
Lomba. Daelangi memiliki nama lain, yakni Dae Ntalili. Dirinya digantikan oleh
Djalalembah, yang anak dari Daelangi. Setelah Djalalembah, tahta Kerajaan Palu
dipegang oleh Lamakaraka. Lamakaraka adalah anak dari Malasigi dan Indjola.
Lamakaraka bergelar Madika Kodi Palo. Ia memerintah selama 18 tahun antara
1850-1868.
Setelah Lamakaraka, yang
menduduki tahta Kerajaan Palu adalah Raja Maili (Mangge Risa). Ia merupakan
anak dari Lapatau, saudara dari Djalalembah.
Pada tahun 1888, Raja Maili
digantikan oleh Yodjokodi. Menurut silsilah dari Souraja bahwa Yodjokodi
merupakan anak dari Lamakaraka yang kawin dengan Dei Donggala. Perkawinan ini
dikaruniai empat orang anak yaitu; Suralembah, Panundu, Yodjokodi, dan
Bidadari. Yodjokodi biasa dipanggil dengan sebutan Toma I Sima. Yodjokodi
memerintah selama 18 tahun dari tahun 1888-1906. Setelah empat tahun
memerintah, Yodjokodi kemudian memindahkan pusat penerintahan dari Pandapa
(Besusu) ke Panggona (Lere) yang masuk ke dalam wilayah Tangga Banggo
(Siranindi).
Pemindahan pusat pemerintahan ini
ditandai dengan pembangunan Souraja. Souraja dibangun pada tahun 1892.
Pembangunan Souraja dikepalai oleh Hj. Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi.
Dalam pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari
Banjar sehingga Nampak corak Banjar di bangunan tersebut. Souraja digunakan
oleh Yodjokodi sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan.
Pada tahun 1906, Yodjokodi
digantikan oleh Parampasi. Parampasi merupakan anak Yodjokodi dari istri
pertama yaitu Bida. Parampasi memiliki dua orang saudara yaitu La Pariusi dan
Idjazah. Yodjokodi sendiri memiliki tiga isteri yaitu I Ntondei yang merupakan
Ratu Sigi, Bida dan Jabatjina. Perkawinan Yodjokodi dengan Jabatjina melahirkan
Palimuri yang kemudian menjadi Presiden Sarekat Islam Palu.
Pada masa pemerintahan Parampasi,
Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal Raja dan sebagai pusat
pemerintahan. Parampasi menikah dengan Hi. Indocenni Pettalolo dan dikaruniai
delapan orang anak, masing-masing empat
anak perempuan dan empat anak laki-laki. Keempat anak perempuan Parampasi
masing-masing bernama; Andi Wali, Andi Tase, Anri Turu, dan Anri Ratu.
Sedangkan anak laki-lakinya bernama; Baso Parenrengi, Andi Wawo, Andi Tjatjo,
dan Adri Tangkau.
Parampasi memerintah selama 15
tahun dalam kurun waktu antara tahun 1906-1918. Parampasi wafat akibat wabah
Flu Spanyol. Setelah Parampasi, Kerajaan Palu diperintah oleh Idjazah. Idjazah
merupakan saudara Parampasi. Idjazah memerintah antara tahun 1918 -1921.
Idjazah digantikan oleh
keponakannya Djanggola. Djanggola merupakan anak dari La Pariusi, saudara dari
Parampasi dan Idjazah. Djanggola merupakan anak kedua dari Pariusi yang
merupakan saudara dari Parampasi. Djanggola memiliki lima orang saudara yaitu;
Baso, Itei, Djuri, Todi, dan Todji.
Masa pemerintahan Djanggola
berlangsung hingga 1945. Pada saat Djanggola memerintah, ia menunjuk pamannya,
Palimuri sebagai penasehatnya. Dalam struktur pemerintahannya, Andi Wawo
Parampasi menjabat sebagai Madika Matua dan Tjatjo Idjazah sebagai Madika
Malolo. Artinya, bahwa Tjatjo Idjazah telah disiapkan untuk menggantikan
Djanggola sebagai Magau Kerajaan Palu.
Pada masa pemerintahan Djanggola,
Souraja beberapa kali mengalami pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942,
Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan.
Pada tahun 1942-1945, tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Souraja
dialihfungsikan sebagai tangsi militer tentara Jepang walaupun fungsi Souraja
masih sebagai kantor pemerintahan Kerajaan Palu. Pada masa Jepang itu,
kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah berubah nama menjadi suco. Lebih
jauh dalam buku “Sejarah daerah Sulawesi Tengah” dijelaskan “kalau pada masa
pemerintahan Belanda atasan-atasannya (asisten Residen dan Kontroliur) orang
Belanda, maka pada zaman Jepang kedudukan ini ditempati oleh Jepang, juga
raja-raja tetap, hanya namanya diganti memakai istilah Jepang. Raja disebut
suco dan kepala distrik disebut gunco. Peranannya pun sama pada zaman Hindia
Belanda” (Depdikbud, 1996/1997:151).
Kemudian pada tahun 1945-1948,
Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu.
Pada tahun 1945-1948, Souraja
kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Tetapi, akibat
revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1950, memaksa rakyat dan penguasa
berjuang di luar jalur pemerintahan kerajaan. Walaupun seorang raja masih
menjadi pengendali perjuangan rakyat, tetapi umumnya tidak menggunakan
kekuasaannya sebagai raja saat turun ke basis-basis perjuangan rakyat. Hal
tersebut mengakibatkan Souraja jarang ditempati oleh Raja Djanggola. Selain itu
Raja Djanggola juga mendirikan rumahnya sendiri tepat di samping Souraja.
Djanggola menikah dengan anak
dari Parampasi yaitu Andi Wali Parampasi. Setelah Andi Wali meninggal,
Djanggola menikah lagi dengan adik Andi Wali Parampasi yang bernama Andi Ratu
Parampasi. Pernikahan Djanggola dan Andi Ratu Parampasi biasa disebut “tukar
tikar”.
Selanjutnya, Djanggola digantikan
oleh Tjatjo Idjazah. Tjatjo Idjazah merupakan sepupu dari Djanggola. Tjatjo
Idjazah merupakan anak dari Idjazah dengan Madika Labuan yang bernama Impero.
Pada masa pemerintahan Tjatjo
Idjazah, Souraja dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Namun,
Magau Tjatjo Idjazah jarang menempati Souraja karena ia lebih sering berada di
kediamannya di Besusu (Apotik Pancar, Jalan Sultan Hasanuddin sekarang). Hal
ini menyebabkan Souraja sering tidak didiami oleh Magau Tjatjo Idjazah.
Pada tahun 1958, ketika Permesta
memberontak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, Souraja hadir dengan fungsi
baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Souraja dijadikan markas
tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan Permesta di Sulawesi
Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.
Pada tahun 1960, Kerajaan Palu
resmi dibubarkan dengan Tjatjo Idjazah sebagai raja terakhirnya. Hal ini
diperkuat dengan kenyataan bahwa Tjatjo Idjazah tidak memiliki keturunan.
Selanjutnya, Palu ditetapkan sebagai wilayah Swapraja dengan Andi Wawo Parampasi
sebagai Kepala Swaparaja.
Bangunan Souraja terakhir
ditempati oleh Raja Palu Tjatjo Idjazah. Tetapi Tjatjo Idjazah tidak menetap di
Banua Oge karena ia lebih sering berada di rumahnya di kawasan sekarang jadi
Apotik Pancar. Setelah Kerajaan Palu resmi dibubarkan, bangunan ini dikelola
oleh Andi Tjatjo Parampasi dan Andi Tase Parampasi. Andi Tjatjo merupakan anak
ke 4 dari Raja Palu, Parampasi. Setelah Andi Tjatjo Parampasi mangkat pada
tahun 1974, pengelolaan rumah ini diserahkan kepada anaknya, Andi Harun
Parampasi.
Pada tahun 1982, bangunan ini
diinventarisasi oleh pemerintah dan kemudian dilakukan pemugaran. Sepuluh tahun
kemudian, tahun 1991-1992, dilakukan pemugaran secara keseluruhan terhadap
bangunan ini yang dilakukan oleh pemerintah. Saat ini, bangunan ini dikelola
oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya. Penjaga situs Souraja saat ini
adalah orang yang dipekerjakan oleh Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu.
Tetapi, penunjukkan tersebut tidak disertai dengan pembekalan pengetahuan dan
peningkatan kesejahteraan bagi si penjaga situs. Pengelola yang diamanatkan
keluarga untuk menjaga rumah ini adalah Mehdiantara Datupalinge, anak dari
Syafei Datupalinge dan Sima Parampasi. Jadi kesimpulannya, sejak Kerajaan Palu
resmi dibubarkan, bangunan ini dijaga oleh keluarga Parampasi sampai sekarang
walaupun bangunan ini sudah menjadi cagar budaya yang di inventarisir oleh
pemerintah. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan dan minimnya tingkat
kesejahteraan penjaga situs Souraja sehingga keluarga yang merasa mewarisi amanat
untuk menjaga situs tersebut membantu untuk menjaga dan mengelola situs
tersebut.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar