Sejarah Singkat Masyarakat adat SIDOLE
Dituturkan, dahulu kala hiduplah
sepasang suami istri bernama Linduala (Genangan Air Kuasa Tuhan) dan Tandilino
(Jemputan Siang). Keduanya dipercaya sebagai leluhur orang-orang Sidole hari
ini. Pasangan tersebut memiliki tujuh anak yaitu:
1. Remeinta (perempuan) artinya
keterangan yang jelas
2. Asalemo (laki-laki)
kebersamaan
3. Intarame (perempuan) artinya
jelas terang
4. Mulajadi (laki-laki) pertama
ada
5. Mulahu (laki-laki) artinya
mulai kerja
6. Indalara (perempuan) artinya
baik hati
7. Mogundu (laki-laki) harum
Dari pasangan dan keturunannya
itulah berkembanglah masyarakat adat Sidole. Kata Sidole sendiri diambil dari
nama pohon kayu yang ada di wilayah adat yang sering disebut dengan Toriomog.
Remeinta dan Intarame mendapat
jodoh dari Suku Mandar dan Suku Bugis sehingga mereka mengikuti suami mereka
hidup di kampung halamannya. Adapun Lasalemo, Mulajadi, dan Mulahu pergi
merantau ke pantai barat, tanah bugis, dan sebagainya sehingga munculah somba
ri goa (rumah dalam goa) mangkao ri bone 9 raja di bone pajung ri luwu sompa
raja tana kaili.
Indalara dan Mangundu menetap
tinggal di kampungnya dan menikah dengan nuru sakit maga dengan mengunakan adat
kayori yang berasal dari keturunan indolara serta ditambah dengan keturunan
saudara-saudara mereka pulang dari merantau di negeri orang sampai ke kampung
halamannya.
Pada sekitar tahun 1695 nama
sebutan toriomog diganti oleh Belanda menjadi “Torilore” yang artinya “orang
bodoh.” Dituturkan sekitar tahun 1928, masyarakat adat Toriomog Sidole yang
saat itu berlokasi di Nabaliang dipindahkan oleh Belanda untuk berkumpul di
lokasi yang disebut Kinta Koso yang saat itu belum berpenghuni. Pada saat
penjajahan Jepang, Pendidikan mulai masuk dan wilayah adat saat itu disebut
sebagai “kampoeng”. Pada sekitar tahun 1975 wilayah kampung itu berubah lagi
menjadi desa sehingga menjadi Desa Sidole. Seiring perkembangan zaman, wilayah
Desa Sidole mekar menjadi Desa Tombi dan Desa Tanampedagi di tahun 2007. Pada
tahun 2011 Desa Sidole kembali mekar menjadi Desa Sidole Brat dan Desa Aloo.
Pada tahun 2013, terjadi pemekaran lagi menjadi Desa Sidole Timur dan Desa
Pangku.
Kodisi wilayah masyarakt adat
Komunitas Sidole saat ini, telah terjadi perselisihan antara masyarakat Desa
Ampibabo dengan masyarakat Desa Sidole. Karena masyarakat Desa Ampibabo
mengklaim bahwa lokasi pegunungan yang tepat berada di atas Desa Sidole adalah
milik masyarakat Ampibabo yang akan dijadikan lahan perkebunan Porang. Saat ini
telah dilakukan sosialisasi oleh pihak perusahaan porang. Selain itu wilayah adat
Sidole tepatnya di Desa Alo,o akan dijadikan lokasi tambang emas. Saat ini
telah di lakukan sosialisasi oleh perusahaan pengelola tambang dan bahkan
sampai dengan tawar menawar harga lahan perkebunan. Respon masyarakat terkait
dengan hal tersebut kemudian melakukan pertemuan yang juga melibatkan pemuda
untuk melakukan penolakan terhadap rencana pembukaan lahan tambang di Desa Aloo.
Batas Wilayah
Batas Barat • Sebelah Barat berbatasan dengan Desa
Saloya Kec. Sindue, Kab. Donggala.
Batas Selatan • Sebelah Selatan dengan Desa Tolole Kec.
Ampibabo, Kab. Parigi Moutong, Tanda batasnya: Rawa (lano).
Batas Timur • Sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Toga Kecamatan Ampibabo Kab. Parigi Moutong Tanda batasnya: (kasaenda, pangi)
yang berbatas alam dengan lano (rawah) dan paruja (persawahan). Desa Paranggi
(Pangi, Taipang Mango, Ogo Tai) yang berbatas alam dengan lano (rawa), pohon
Mangga, dan Sungai.
Batas Utara • Sebelah Utara dengan Desa Buranga
Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong Tanda batasnya: Buyul Sivulu Tongo,
Buyul Sijongin (Ogo Binangkal/Sungai Binangkal)
0 comment:
Posting Komentar