Senin, 19 Mei 2025

Sejarah Desa LEWARA

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-----------------------------------------------------------------------

 

Batas Wilayah

Batas Barat         Desa Lumbulama, Kecamatan Banawa Selatan, Kab. Donggala.

Batas Selatan     Desa Matantimali dan Desa Soi, Kecamatan Marawola Barat.

Batas Timur        Desa Kalora dengan batas yaitu Sungai Surumana, dan Desa Doda, Kecamatan Kinovaro dengan batas di Gunung Pantapa

Batas Utara         Desa Lumbulama, Kecamatan Banawa Selatan, Kab. Donggala dengan batas yaitu Lereng Gunung Panjua, Puncak Gunung Ulujadi, Puncak Gunung Nono, Puncak Gunung Pantapa.

Masyarakat Adat Ona merupakan rumpun suku Kaili Da’a yang dulunya menjerat hewan buruan dan bercocoktanam Padi Koyo dan Pulut dengan ladang berpindah di wilayah Gunung Ulujadi atau yang dikenal sebagai Gunung Kamalisi saat ini atau yang disebut orang Belanda sebagai Gunung Gawalise. Dituturkan secara lisan bahwa Masyarakat Adat Ona adalah yang tertua dari rumpun suku Kaili Da’a yang disebut sebagai To Ulujadi atau Ulunggatoka Pinandu – Ongunja Poamaya. Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa dari puncak Ulujadi-lah awal dari kehidupan manusia. Hal itu disimpulkan dari ujaran Ulunggatoka Pinandu – Pinandu: Tananilemo Nggari Tanah Pinandu yang artinya “diciptakan dari tanah, adalah tanah yang (digenggam-dibentuk) dijadikan manusia”. Menurut Masyarakat Adat Ona, Pinandu itu pulahlah nama orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian, dibentuklah dari tulang rusuk Pinandu itu diciptakan perempuan pertama yang disebut “Usukei” (tulang rusuk kiri). Pada perkembangannya, Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa sistem dan aturan adat diciptakan oleh orang-orang yang mereka sebut sebagai Tomanuru (orang suci) dan Tobarakah (orang sakti yang suci). Sistem dan aturan adat itu kemudian dimapankan oleh para Ntina atau pemimpin masyarakat dan berpusat di sebuah tempat yang dinamakan Bantaya.

 

Dituturkan selanjutnya, bahwa pada tahun 1865 dilantiklah dua orang oleh Belanda untuk menjadi pemimpin di tanah Kaili, mereka adalah Sangabaja Sabinggalangi menjadi Kepala Suku Kaili dan Parampasi Simantana sebagai Kepala Raja Kaili. Jika Parampasi Simantana dilantik untuk menjadi Madika untuk tanah Kaili, maka Sangabaja Sabinggalangi memimpin suku Kaili yang berpusat di wilayah yang disebut sebagai Ngata Ona. Pada zaman kolonial, sekitar 700 orang dari Masyarakat Adat Ona dipekerjakan oleh Belanda untuk membuat jalan dari Kulawi sampai ke Towulu. Pada saat itu juga masuklah misionaris Inggris yang membawa ajaran Nasrani Bala Keselamatan dan diterima secara damai oleh Masyarakat Adat Ona. Sekitar tahun 1950an dibangunlah gereja dan sekolah pertama di tanah Lumbu (dusun 2 Desa Lewara). Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona yang bertempat tinggal di Gunung Ulujadi berpindah menuruni gunung dan membentuk pemukiman yang tersebar ke beberapa wilayah yaitu Kalantaro, Lumbu (Vuntunono), Ngge’a, dan Tamoli. Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona mulai mengenal cara bercocoktanam dengan berkebun dengan beberapa tanaman seperti ubi, singkong, jagung, dan lain-lain.

Pada tahun 1968, konsep Ngata pada Ona berubah menjadi Kampung. Tahun 1969 diyakini sebagai tahun terakhir masa ladang berpindah (Padi) dan berganti ke tanaman kebun atau ladang. Pada masa Kampung ini, Masyarakat Adat Ona terlibat perang antar-suku dengan wilayah lain. Pada saat itu, sesuai kesepakatan bersama orang tua adat digantilah nama Ngata Ona menjadi Ngata Lewara untuk melindungi seluruh Masyarakat Suku Da’a di Ngata Ona. Pada tahun 1971 Ngata Lewara berubah menjadi Desa Lewara yang terdiri dari 5 dusun yaitu: 1. Kalantaro, 2. Vuntuneno (Lumbu), 3. Ngge’a, 4. Tamoli, dan 5. Vatumpolelo. Menurut sejarah perkembangannya, banyak dari Masyarakat Adat Kaili Da’a Ona yang menyebar ke wilayah lain dan membentuk kampung/desa baru maupun berbaur dengan suku lain.


Tugas dan Fungsi Pemangku Adat

Ntina (Ketua RW): Pimpinan paling tertinggi di komunitas wilayah adat suku da’a dan menyelesaikan perkara yang tidak selesai di tingkat RT.

Gelara Ketua RT): Pemimpin (sakti) yang ditugaskan oleh Ntina untuk menyelesaikan perkara di tingkat RT serta memantau situasi musuh apabila ada penyerangan.

 

Peran – Fungsi Gelara dan Ntina meliputi:

Notangara: dipercaya serta bertugas menyelesaikan masalah secara umum baik tingkat kriminal yang ringan maupun yang berat

Buluna: dipercaya serta bertugas dan memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah bagian pegunungan (Hutan).

Nompakoni: dipercaya serta bertugas yang memiliki ilmu spiritual untuk meminta sang pencipta baik urusan tolak bala, menyembuhkan orang dari penyakit, yang biasa membuat ritual sebelum membuka lahan dan lain-lain.

Mekanisme Pengambilan keputusan

Molibu (Musyawarah dengan Tujuan)

Molibu Vaya:

a. Permasalahan yang terjadi di tingkat keluarga dalam tingkat RT maka dimediasi oleh Gelara/Ketua RT, jika selesai di tingkat ini maka tidak ada Givu. Permasalahan yang terjadi antar-keluarga dari RT/RW/Dusun yang berbeda maka hadir juga pejabat adat dari RT/RW/Dusun terkait.

b. Permasalahan yang tidak dapat selesai di tingkat RT oleh Gelara maka dibawa ke tingkat Ntina dengan proses mekansime sangsi Givu.

Givu adalah vonis dalam bentuk sanksi berat atau ringan.

Vaya adalah status Givu terpenuhi dan kondisi di mana pelaku menyesal tak mengulangi lagi (efek jera) dan korban memaafkan.

Sompo status Givu terpenuhi dan kondisi di mana pelaku menyesal tak mengulangi lagi (efek jera) dan korban memaafkan untuk kasus yang menimbulkan rasa malu bagi korban.

 

Molibu Mponika: Tujuan membicarakan proses pernikahan

 

Molibu Mpovati/Mpokeso: Tujuan membicarakan prosesi adat peralihan anak ke remaja.

 

Molibu Kamate: Tujuan untuk pesta duka di hari ke 14.


Hukum Adat

Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan Wilayah dan Sumber daya alam

Ada prinsip yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Ona bahwa tanah adat yang telah di wariskan dan diberikan oleh leluhur untuk todea (Masyarakat) adalah untuk dijaga dan tidak boleh dijual. Hal itu tercermin dalam ujaran ”Menjual tanah adat sama dengan menjual adat, menjual adat berarti menjual rakyat dan menjual rakyat adalah mendustai dan menyakiti leluhur.”

 

Tidak boleh menjual hasil hutan berupa kayu, kecuali untuk kebutuhan papan rumah tangga.

 

Pemahaman bersama untuk tidak boleh menggarap beberapa lahan (tanpa persetujuan adat) yaitu:

1. Pangale Viata (Gunung Ulujadi) yang terdapat pemakaman dan bekas kampung tua.

2. Lahan Olo (bermata air), untuk menjaga ketersediaan sumber air.

3. Lahan miring dekat binangga (sungai) dan saraah (air terjun).


Aturan Adat terkait Pranata Sosial

Sebelum agama datang ke Ngata Ona, masyarakat telah mengenal prinsip adat dari 10 norma kehidupan manusia yaitu:

Tidak boleh mencuri

Tidak boleh berdusta

Tidak boleh berzinah

Tidak boleh mempermalukan perempuan

Tidak boleh membunuh

Tidak boleh mengolok-olok orang lain-menghina

Tidak boleh berbohong

Tidak boleh menyalah gunakan wewenang

Tidak boleh mendahului orang tua

Tidak boleh ingkar janji

Tidak boleh mengambil hasil kebun/tanaman orang lain tanpa izin. Melanggar dikenakan givu sebesar Rp. 100.000/buah yang dicuri.

Menggarap lahan orang lain (ada tanda tanaman keras) tanpa izin maka dikenakan Givu berupa 9 Dula (baki) dan 1 ekor babi besar.

Mengajak selingkuh istri orang lain, maka dikenakan Givu berupa 2 x mahar yang dikeluarkan suami.

Mengancam (untuk membunuh, dll) orang lain, maka dikenakan Givu 9 Dula, 1 ekor babi 100kg,12 m kain putih, 1 doke (tombak), dan 1 huma (parang).

Salah ucap (Sala Mbivi) dikenakan Givu.

Proses penyapihan adat untuk anak-anak berumur 3 hari dengan beberapa benda yaitu: kampak, rumput silayuri, daun pada, daun sukun, Bili Siomposinji (cincin ikat melingkar 9), gelang ikat 9, dan Parang (lk)/Pacul (pr).



Sumber : DISINI

۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-----------------------------------------------------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞