Batas Wilayah
Batas Barat Desa
Lumbulama, Kecamatan Banawa Selatan, Kab. Donggala.
Batas Selatan Desa
Matantimali dan Desa Soi, Kecamatan Marawola Barat.
Batas Timur Desa
Kalora dengan batas yaitu Sungai Surumana, dan Desa Doda, Kecamatan Kinovaro
dengan batas di Gunung Pantapa
Batas Utara Desa
Lumbulama, Kecamatan Banawa Selatan, Kab. Donggala dengan batas yaitu Lereng
Gunung Panjua, Puncak Gunung Ulujadi, Puncak Gunung Nono, Puncak Gunung
Pantapa.
Masyarakat Adat Ona merupakan
rumpun suku Kaili Da’a yang dulunya menjerat hewan buruan dan bercocoktanam
Padi Koyo dan Pulut dengan ladang berpindah di wilayah Gunung Ulujadi atau yang
dikenal sebagai Gunung Kamalisi saat ini atau yang disebut orang Belanda
sebagai Gunung Gawalise. Dituturkan secara lisan bahwa Masyarakat Adat Ona adalah
yang tertua dari rumpun suku Kaili Da’a yang disebut sebagai To Ulujadi atau
Ulunggatoka Pinandu – Ongunja Poamaya. Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa
dari puncak Ulujadi-lah awal dari kehidupan manusia. Hal itu disimpulkan dari
ujaran Ulunggatoka Pinandu – Pinandu: Tananilemo Nggari Tanah Pinandu yang
artinya “diciptakan dari tanah, adalah tanah yang (digenggam-dibentuk)
dijadikan manusia”. Menurut Masyarakat Adat Ona, Pinandu itu pulahlah nama
orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian, dibentuklah dari tulang
rusuk Pinandu itu diciptakan perempuan pertama yang disebut “Usukei” (tulang
rusuk kiri). Pada perkembangannya, Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa sistem
dan aturan adat diciptakan oleh orang-orang yang mereka sebut sebagai Tomanuru
(orang suci) dan Tobarakah (orang sakti yang suci). Sistem dan aturan adat itu
kemudian dimapankan oleh para Ntina atau pemimpin masyarakat dan berpusat di
sebuah tempat yang dinamakan Bantaya.
Dituturkan selanjutnya, bahwa
pada tahun 1865 dilantiklah dua orang oleh Belanda untuk menjadi pemimpin di
tanah Kaili, mereka adalah Sangabaja Sabinggalangi menjadi Kepala Suku Kaili
dan Parampasi Simantana sebagai Kepala Raja Kaili. Jika Parampasi Simantana
dilantik untuk menjadi Madika untuk tanah Kaili, maka Sangabaja Sabinggalangi
memimpin suku Kaili yang berpusat di wilayah yang disebut sebagai Ngata Ona.
Pada zaman kolonial, sekitar 700 orang dari Masyarakat Adat Ona dipekerjakan
oleh Belanda untuk membuat jalan dari Kulawi sampai ke Towulu. Pada saat itu juga
masuklah misionaris Inggris yang membawa ajaran Nasrani Bala Keselamatan dan
diterima secara damai oleh Masyarakat Adat Ona. Sekitar tahun 1950an
dibangunlah gereja dan sekolah pertama di tanah Lumbu (dusun 2 Desa Lewara).
Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona yang bertempat tinggal di Gunung Ulujadi
berpindah menuruni gunung dan membentuk pemukiman yang tersebar ke beberapa
wilayah yaitu Kalantaro, Lumbu (Vuntunono), Ngge’a, dan Tamoli. Sejak saat itu,
Masyarakat Adat Ona mulai mengenal cara bercocoktanam dengan berkebun dengan
beberapa tanaman seperti ubi, singkong, jagung, dan lain-lain.
Pada tahun 1968, konsep Ngata
pada Ona berubah menjadi Kampung. Tahun 1969 diyakini sebagai tahun terakhir
masa ladang berpindah (Padi) dan berganti ke tanaman kebun atau ladang. Pada
masa Kampung ini, Masyarakat Adat Ona terlibat perang antar-suku dengan wilayah
lain. Pada saat itu, sesuai kesepakatan bersama orang tua adat digantilah nama
Ngata Ona menjadi Ngata Lewara untuk melindungi seluruh Masyarakat Suku Da’a di
Ngata Ona. Pada tahun 1971 Ngata Lewara berubah menjadi Desa Lewara yang
terdiri dari 5 dusun yaitu: 1. Kalantaro, 2. Vuntuneno (Lumbu), 3. Ngge’a, 4.
Tamoli, dan 5. Vatumpolelo. Menurut sejarah perkembangannya, banyak dari
Masyarakat Adat Kaili Da’a Ona yang menyebar ke wilayah lain dan membentuk
kampung/desa baru maupun berbaur dengan suku lain.
Tugas dan Fungsi Pemangku Adat
Ntina (Ketua RW): Pimpinan paling
tertinggi di komunitas wilayah adat suku da’a dan menyelesaikan perkara yang
tidak selesai di tingkat RT.
Gelara Ketua RT): Pemimpin
(sakti) yang ditugaskan oleh Ntina untuk menyelesaikan perkara di tingkat RT
serta memantau situasi musuh apabila ada penyerangan.
Peran – Fungsi Gelara dan Ntina
meliputi:
Notangara: dipercaya serta
bertugas menyelesaikan masalah secara umum baik tingkat kriminal yang ringan
maupun yang berat
Buluna: dipercaya serta bertugas
dan memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah bagian pegunungan
(Hutan).
Nompakoni: dipercaya serta
bertugas yang memiliki ilmu spiritual untuk meminta sang pencipta baik urusan
tolak bala, menyembuhkan orang dari penyakit, yang biasa membuat ritual sebelum
membuka lahan dan lain-lain.
Mekanisme Pengambilan keputusan
Molibu (Musyawarah dengan Tujuan)
Molibu Vaya:
a. Permasalahan yang terjadi di
tingkat keluarga dalam tingkat RT maka dimediasi oleh Gelara/Ketua RT, jika
selesai di tingkat ini maka tidak ada Givu. Permasalahan yang terjadi
antar-keluarga dari RT/RW/Dusun yang berbeda maka hadir juga pejabat adat dari
RT/RW/Dusun terkait.
b. Permasalahan yang tidak dapat
selesai di tingkat RT oleh Gelara maka dibawa ke tingkat Ntina dengan proses
mekansime sangsi Givu.
Givu adalah vonis dalam bentuk
sanksi berat atau ringan.
Vaya adalah status Givu terpenuhi
dan kondisi di mana pelaku menyesal tak mengulangi lagi (efek jera) dan korban
memaafkan.
Sompo status Givu terpenuhi dan
kondisi di mana pelaku menyesal tak mengulangi lagi (efek jera) dan korban
memaafkan untuk kasus yang menimbulkan rasa malu bagi korban.
Molibu Mponika: Tujuan
membicarakan proses pernikahan
Molibu Mpovati/Mpokeso: Tujuan
membicarakan prosesi adat peralihan anak ke remaja.
Molibu Kamate: Tujuan untuk pesta
duka di hari ke 14.
Hukum Adat
Aturan adat yang berkaitan dengan
pengelolaan Wilayah dan Sumber daya alam
Ada prinsip yang dimiliki oleh
Masyarakat Adat Ona bahwa tanah adat yang telah di wariskan dan diberikan oleh
leluhur untuk todea (Masyarakat) adalah untuk dijaga dan tidak boleh dijual.
Hal itu tercermin dalam ujaran ”Menjual tanah adat sama dengan menjual adat,
menjual adat berarti menjual rakyat dan menjual rakyat adalah mendustai dan
menyakiti leluhur.”
Tidak boleh menjual hasil hutan
berupa kayu, kecuali untuk kebutuhan papan rumah tangga.
Pemahaman bersama untuk tidak
boleh menggarap beberapa lahan (tanpa persetujuan adat) yaitu:
1. Pangale Viata (Gunung Ulujadi)
yang terdapat pemakaman dan bekas kampung tua.
2. Lahan Olo (bermata air), untuk
menjaga ketersediaan sumber air.
3. Lahan miring dekat binangga
(sungai) dan saraah (air terjun).
Aturan Adat terkait Pranata
Sosial
Sebelum agama datang ke Ngata
Ona, masyarakat telah mengenal prinsip adat dari 10 norma kehidupan manusia
yaitu:
Tidak boleh mencuri
Tidak boleh berdusta
Tidak boleh berzinah
Tidak boleh mempermalukan
perempuan
Tidak boleh membunuh
Tidak boleh mengolok-olok orang
lain-menghina
Tidak boleh berbohong
Tidak boleh menyalah gunakan
wewenang
Tidak boleh mendahului orang tua
Tidak boleh ingkar janji
Tidak boleh mengambil hasil
kebun/tanaman orang lain tanpa izin. Melanggar dikenakan givu sebesar Rp.
100.000/buah yang dicuri.
Menggarap lahan orang lain (ada
tanda tanaman keras) tanpa izin maka dikenakan Givu berupa 9 Dula (baki) dan 1
ekor babi besar.
Mengajak selingkuh istri orang
lain, maka dikenakan Givu berupa 2 x mahar yang dikeluarkan suami.
Mengancam (untuk membunuh, dll)
orang lain, maka dikenakan Givu 9 Dula, 1 ekor babi 100kg,12 m kain putih, 1
doke (tombak), dan 1 huma (parang).
Salah ucap (Sala Mbivi) dikenakan
Givu.
Proses penyapihan adat untuk
anak-anak berumur 3 hari dengan beberapa benda yaitu: kampak, rumput silayuri,
daun pada, daun sukun, Bili Siomposinji (cincin ikat melingkar 9), gelang ikat
9, dan Parang (lk)/Pacul (pr).
0 comment:
Posting Komentar