Sebelum berkembang menjadi desa,
Tongoa mulanya hanya merupakan hamparan hutan yang luas dengan tanah yang
subur. Hutan Tongoa pada waktu itu masih dijejali oleh kayu-kayu besar yang
berdiameter satu sampai dua meter. Binatang liar pun masih berkeliaran seperti
Rusa, Babi Hutan, Monyet, dan juga burung-burung yang beraneka ragam seperti
burung Alo, burung Maleo, Kelelawar dan masih banyak jenis burung-burung
lainnya.
Wilayah Tongoa secara
administratif masuk ke dalam Kecamatan Palolo Sulawesi Tengah. Secara geografis
Tongoa dilingkari oleh pegunungan yang menghimpit satu gunung yang diberi nama
Gunung Nokilalaki. Gunung ini adalah gunung yang tertinggi di Sulawesi Tengah.
Di tengah-tengah wilayah Tongoa mengalir dua aliran sungai yakni Sungai Tongoa
yang berhulu di lembah Tongoa lalu bermuara di Tongoa dan berikutnya adalah
Sungai Sopu yang berada di sebelah Barat Sungai Tongoa berhulu di Kabupaten
Poso Kecamatan Lore Utara Desa Sidoa. Jarak antara kedua sungai ini kurang
lebih 300 meter.
Hutan Tongoa sejak dulu menjadi
jalan setapak penghubung bagi orang-orang dari Kabupaten Poso menuju Palu.
Namun, pada akhirnya Lembah Tongoa yang subur itu menjadi tempat hunian bagi
banyak kelompok masyarakat.
Pada tahun 1969, Orang Mainusi I
mulai berdatangan untuk merintis lokasi perkebunan. Kedatangan mereka merupakan
inisiatif sendiri dan bukan bagian dari Proyek Transmigrasi atau Proyek
Pemukiman Kembali Masyarakat Suku Terasing yang dipromosikan oleh Dinas Sosial
dan Dinas Kehutanan. Namun inisiatif tersebut membuka mata komunitas lainnya.
Maka pada tahun 1970 penduduk Desa Mainusi I berdatangan beramai-ramai di bawah
pimpinan masing-masing kelompok, diantaranya adalah kelompok Orang Behoa dan
juga Kelompok Orang Toraja. Kelompok Orang Behoa yang dipimpin oleh Pantoboya
Topa Bibo dari Mainusi I ditempatkan di wilayah Malewuko. Sedangkan kelompok
Behoa yang dipimpin Masehi Dowiwi ditempatkan di wilayah Salungkema.
Selanjutnya, kelompok orang-orang Toraja mengambil tempat di wilayah dataran
rendah Tongoa. Di antara kelompok-kelompok itu ada pula kelompok orang-orang
Bugis Soppeng yang dipimpin Haji Sandra dari Desa Sidondo.
Tulisan ini adalah bagian dari
Buku Dari Desa Ke Desa yang diterbitkan oleh Perkumpulan Bantaya dan Yayasan
Kemala.
Selengkapnya bisa dibaca OtonomiDesa: Kelembagaan Pemerintahan Desa dan Pembaharuan Agraria
0 comment:
Posting Komentar